Jumat, 07 September 2018

Resensi Buku “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki”


Judul: “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki”
Penulis: Harry Kawilarang
Penyunting: Murizal Hamzah
Penerbit: Bandar Publishing
Tahun Terbit: 2008
Tebal Buku: xxiv + 230 halaman
ISBN:  978-176845-2

Sinopsis

            Buku ini menyuguhkan informasi tentang sejarah Aceh yang panjang terbentang dari masa kerajaan-kerajaan Islam awal yakni Perlak dan Samudra Pasai, era Kesultanan Aceh Darussalam, Perang Aceh, hingga Perjanjian Helsinki antara GAM dengan Indonesia yang mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Buku ini terbagi menjadi sebelas bab, beserta sejumlah kata pengantar dan sebuah kronologi. Kita akan mengupas seluruh bab tersebut satu persatu berikut kronologi serta salah satu kata pengantar. Berikut penjelasannya:


Kata Pengantar : Menguak Sejarah di Bawah Karpet oleh Irwandi Yusuf

Irwandi Yusuf adalah seorang mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertugas sebagai negosiator dalam organisasi tersebut. Dalam kata pengantar ini, beliau mengisahkan pengalamannya kala berkunjung ke sebuah museum di Inggris pada tahun 1999 untuk melihat koleksi koin peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam. Beliau menuliskan bagaimana koin-koin tersebut tidak dipamerkan dan hanya boleh dilihat oleh segelintir orang saja, karena perjanjian politik antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Indonesia.

Beliau lantas mengeluhkan tentang mengapa sejarah Aceh masih tidak begitu diperhatikan, dan bagaimana masyarakat Aceh kerap menjadikan sejarah sebagai dongeng karena jarang ditulis atau pelaku sejarah duluan meninggal dunia. Irwandi Yusuf menyambut gembira buku karya Harry Kawilarang ini, dan berkeyakinan bahwa sejarah bisa dijadikan landasan berpijak untuk bergerak ke depan.


Kronologis Sejarah Aceh

Bagian ini menuliskan kronologi urutan peristiwa penting yang terjadi di Aceh dari tahun 1350 sampai 15 Agustus 2005. Setiap peristiwa dijelaskan secara singkat. Dimulai dari peperangan antara Samudra Pasai melawan Majapahit, bangkitnya Banda Aceh sebagai bandar dagang pada abad ke-16, rivalitas antara Aceh dengan Portugis Malaka, pengiriman sejumlah misi diplomatik kepada penguasa-penguasa Barat seperti Turki dan Inggris, hingga naik tahtanya Sultan Iskandar Muda.

Kronologi berlanjut ke tahun 1873, yakni kala pecahnya Perang Aceh. Dengan ringkas, dijelaskan peristiwa-peristiwa yang menentukan selama jalannya konflik Aceh-Belanda dari 26 Maret 1873 hingga 1876, dan terus berlanjut sampai Perang Dunia II saat terusirnya Belanda dari Aceh pada Maret 1942. Kemudian secara ringkas juga dituliskan mengenai pasang surut hubungan Aceh-Indonesia dari 15 September 1945 di masa kemerdekaan, Darul Islam (1953-1958), hingga masa konflik bersenjata GAM melawan TNI yang berlangsung dari 4 Desember 1976 hingga terciptanya perjanjian damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Bab I : Awal dari Sejarah Aceh

Pada bab pertama buku ini, penulis menyajikan informasi tentang masa awal sejarah Islam di Aceh yang dimulai dari munculnya Kesultanan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai, yang masing-masing diperkirakan berdiri sejak abad ke-9 dan abad ke-13. Kemudian dilanjutkan di abad ke-14, kala Pasai diserbu dan dikalahkan oleh Majapahit. Penulis menyinggung secara singkat bagaimana tawanan perang dari Pasai turut andil dalam menyebarkan Islam di Jawa. Dijelaskan pula tentang bagaimana Kerajaan Malaka di Semenanjung Malaya menjalin hubungan dengan Pasai atas saran Majapahit, dan berujung pada pengislaman Malaka yang lalu menyebarkannya ke seluruh Semenanjung Malaya.

Pembahasan dilanjutkan dengan bangkitnya Kesultanan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Dijelaskan bagaimana Aceh berperan dalam menyebarkan Islam dan aksara Jawi ke seantero Nusantara. Kemudian dilanjutkan ke masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang sukses membawa Aceh ke puncak kejayaannya, dengan serangkaian ekspansi sepanjang awal abad ke-17 terhadap sebagian besar negeri di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Penulis juga menyinggung tentang diplomasi Aceh dengan berbagai bangsa seperti Turki, Inggris, Belanda, dan Perancis. Misi-misi diplomatik tersebut sukses membawa pulang hadiah, dimana Turki Usmani mengirimkan bantuan armada guna membantu memajukan militer Aceh,  Inggris mengirim hadiah berupa meriam, dan Perancis menghadiahkan sebuah cermin yang menjadi cikal bakal dari adanya Bale Ceuremeen dalam Istana Dalam Darod Donya Aceh.

Yang paling menarik adalah informasi mengenai hubungan awal Aceh dengan Belanda yang rupanya cukup mesra. Dituliskan bahwa Pangeran Maurits van Oranje mengirim surat ke Aceh Darussalam untuk meminta bantuan guna melawan Kerajaan Spanyol yang sedang menjajah Belanda. Sultan Aceh membalasnya dengan mengirimkan rombongan utusan ke Belanda pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang-orang Nusantara pertama yang berkunjung ke Belanda. Dalam kunjungan ini, Tuanku Abdul Hamid sakit dan wafat di sana. Oleh para pembesar Belanda, sang utusan Aceh dimakamkan secara besar-besaran dengan cara Nasrani di halaman sebuah gereja (karena orang Belanda saat itu belum pernah memakamkan orang Islam).

Kemudian disinggung pula mengenai reformasi yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap sistem administrasi pemerintahan Aceh. Setelah itu, dijelaskan bagaimana Aceh mulai mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Iskandar Muda, masa pemerintahan para raja perempuan sepanjang tahun 1641-1699, desentralisasi dan lepasnya sejumlah vassal(negara bawahan) di Semenanjung Malaya, hingga perebutan pengaruh di Sumatera Utara dengan Kesultanan Siak pada abad ke-18 dan ke-19.

Pada bagian akhir bab ini, dijelaskan mengenai lada hitam sebagai salah satu komoditas ekspor utama yang mendatangkan keuntungan yang sangat banyak bagi Aceh, serta bagaimana dibukanya Pelabuhan Penang oleh Inggris berpengaruh pada kemajuan ekonomi bagi kota-kota pelabuahn di pantai barat Aceh seperti Aceh Singkil dan Meulaboh. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang perang saudara yang pecah pada awal abad ke-19 antara Jauhar al-Alam dengan Saif al-Alam, dan bagaimana Thomas Stamford Raffles turut berperan dalam mengendurkan konflik tersebut.

Bab II : Perjanjian Inggris-Belanda 1824

Bab ini diawali dengan informasi tentang meredanya ketegangan antara Inggris dengan Belanda di Asia Tenggara pasca berakhirnya Perang Napoleon, dan bagaimana kedua negara tersebut menandatangani sejumlah perjanjian yang berujung pada pertukaran koloni di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Puncaknya adalah Perjanjian Inggris-Belanda 1824, yang menegaskan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat yang tak boleh dicampuri urusannya baik oleh Belanda maupun Inggris. Perjanjian inilah yang digadang-gadang sepenuhnya mengakhiri konflik Inggris-Belanda di Asia Tenggara setelah Perang Napoleon. Namun, pada kenyataannya perjanjian ini gagal karena kedua pihak tetap saja dilanda kompetisi untuk mendominasi perdagangan di Selat Malaka. Belanda yang sedang terancam bangkrut memerlukan dana untuk pembangunan kembali negerinya yang hancur selama Perang Napoleon.

Kemudian disinggung mengenai sejumlah tokoh Belanda yang berpengaruh di Nusantara pada awal abad ke-19 seperti Warner Muntinghe, Herman Willem Daendels, dan Johannes van den Bosch. Setelah itu, dituliskan sekilas tentang hubungan antara Aceh dengan Amerika Serikat. Ada satu peristiwa pada tahun 1832, ketika para pedagang Amerika yang merasa tak aman oleh para bajak laut yang berpangkalan di Aceh, menyerang salah satu uleebalang di Aceh Barat, Kuala Batu (Kuala Batee) yang diindikasikan merupakan salah satu sarang bajak laut. Juga disebutkan tentang Perjanjian Sumatera 1871 yang berisi persetujuan untuk menukar sejumlah daerah koloni di Afrika Barat milik Belanda kepada Inggris, serta diperbolehkannya Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera, termasuk Aceh.

Bab dilanjutkan dengan kisah mengenai dua orang petinggi Aceh yang berperan besar dalam diplomasi Aceh dengan negeri-negeri lain. Yang pertama ialah seorang Habib asal Yaman yang berpetualang ke Nusantara dan kemudian mengabdi pada Aceh, yakni Habib Abdurrachman al-Zahir (1832-1896). Yang kedua adalah Panglima Tibang Muhammad, seorang perantau dari India.

Bab III : Lobi Aceh di Pentas Internasional

Sebuah subjudul yang sangat mencolok ditulis sebagai pembuka bab ini, yakni ‘Sabang Ditawar ke Amerika’. Rupanya, Aceh yang merasa terancam oleh ekspansi Hindia Belanda pernah meminta bantuan Amerika Serikat, salah satunya adalah dengan menawarkan Pulau Weh kepada mereka. Meskipun, pada akhirnya Amerika memang menolak untuk membantu Aceh.

Selain dengan Amerika Serikat, Sultan Aceh juga mengirim kedua orang diplomat ulungnya, Habib Abdurrachman dan Panglima Tibang, sebagai utusan masing-masing ke Turki dan ke Singapura. Di Turki, Habib Abdurrachman menemui para petinggi Turki Usmani untuk memohon bantuan militer. Sementara di Singapura, Panglima Tibang menemui perwakilan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Italia, dan menyampaikan pesan Aceh bahwa ia mengharapkan bantuan mereka untuk mencegah Belanda menyerang Aceh. Juga dituliskan mengenai kiprah pemerintahan Inggris di Penang terhadap konflik Aceh-Belanda.

Bab ini ditutup dengan penjelasan ringkas perihal Belanda yang mencari-cari alasan untuk bisa menyerang Aceh. Dan alasan itu adalah pertemuan utusan Sultan Aceh dengan diplomat Amerika dan Italia di Singapura. Belanda yang khawatir terhadap kemungkinan campur tangan asing terhadap konfliknya dengan Aceh, segera mengumumkan perang terhadap negeri tersebut.

Bab IV : Perang Aceh Pertama [1873]

Sesuai dengan judul, bab ini menjelaskan jalannya Perang Aceh Pertama yang berlangsung dari tanggal 25 Maret sampai 25 April tahun 1873. Dimulai dari pendaratan pasukan Belanda pimpinan Mayjen JHR Kohler di Pantai Ceureumen Banda Aceh (8 April), penyerangan dan pendudukan Masjid Raya Baiturrahman (11 April), hingga terbunuhnya Mayjen Kohler oleh sebutir peluru dari pasukan Aceh pimpinan Panglima Polem (14 April). Kematian pemimpin mereka membuat moral pasukan Belanda turun drastis, hingga akhirnya memutuskan untuk mundur setelah kewalahan melawan pasukan dan masyarakat Aceh yang bertempur dengan gigih (25 April).

Kemudian disajikan informasi tentang bagaimana berita kekalahan Belanda di Aceh ini dengan cepat tersebar ke seluruh dunia dan dimuat di berbagai media seperti Reuters, London Times, dan The New York Times. Berita yang dipelopori oleh Reuters ini menggemparkan publik Eropa dan Amerika, sehingga memaksa pemerintah Inggris yang pro-Belanda untuk menekan pemilik Kantor Berita Reuters, Baron Paul Julius von Reuter, agar tidak lagi menampilkan berita mengenai Perang Aceh.

Pembahasan dilanjutkan dengan perbedaan pendapat para politisi Belanda dalam Parlemen di Den Haag, yang terpecah menjadi kubu pro-Aceh dan kubu anti-Aceh. Dituliskan juga mengenai Dewan Delapan di Penang, yakni sekumpulan pedagang Muslim (dua di antaranya orang Aceh) yang melakukan gerakan anti-Belanda dan menggalang dana bagi Kesultanan Aceh di Penang.

Ada pula lanjutan informasi mengenai perjuangan diplomasi Habib Abdurrachman di Turki dan Panglima Tibang di Singapura, yang sayangnya berakhir dengan kegagalan. Bab ini ditutup dengan usaha diplomasi terakhir Aceh yakni menawarkan aliansi dengan Amerika Serikat, yang sayangnya ditolak.

Bab V : Perang Aceh Kedua [1874-1880]

Bab ini membahas jalannya Perang Aceh Kedua yang berlangsung dari 1874 hingga 1880. Perang dimulai dengan digempurnya kembali Masjid Raya Baiturrahman oleh pasukan Belanda yang sukses mendudukinya kembali (6 Januari 1874), dilanjutkan dengan penyerbuan ke kompleks Istana Aceh (24 Januari 1874) yang kemudian berhasil dikuasai sepenuhnya (26 Januari 1874). Hingga akhir tahun 1874, pasukan Belanda telah berhasil menguasai hampir seluruh Banda Aceh.
Sepanjang tahun 1875-1877, pasukan Belanda menyerang pesisir barat dan utara Aceh secara berturut-turut, namun mengalami perlawanan yang sengit dari pasukan Aceh yang menerapkan perang gerilya. 

Kemudian dituliskan mengenai Habib Abdurrachman yang kembali memegang peran penting. Sang Habib yang baru kembali dari Turki pada 1876 langsung diberi wewenang sebagai pemimpin perang melawan Belanda oleh sebagian besar uleebalang Aceh, pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah. Jabatan Sultan Aceh sendiri diisi oleh Tuanku Daud yang masih berusia 10 tahun.
Namun rupanya, harapan Aceh pada Habib Abdurrachman terbukti terlampau tinggi. Sang Habib sebagai panglima perang tak kunjung menyerang pasukan Belanda meskipun mereka sempat mengurangi jumlah prajuritnya. 

Pada 1878, saat akhirnya sang Habib memimpin penyerangan terhadap pasukan Belanda pimpinan Jenderal Diemont di pantai utara Krueng Raba, pasukan Aceh yang sempat mengepung benteng Belanda di sana segera dapat dipukul mundur oleh pasukan bantuan Belanda pimpinan Van der Heijden. Habib Abdurrachman yang terdesak akhirnya memilih untuk menyerah. Oleh Belanda, sang Habib dan pengikutnya dipersilahkan untuk berlayar ke Mekkah, dan bahkan dihadiahkan uang pensiun seumur hidup dengan syarat dilarang kembali ke Aceh. Ini menjadi pukulan keras bagi masyarakat Aceh yang merasa telah ditipu oleh sang Habib. Seiring dengan menyerahnya Habib Abdurrachman, maka Perang Aceh Kedua pun berakhir.

Bab VI : Perang Aceh Ketiga [1884-1896]

Bab ini membahas jalannya Perang Aceh Ketiga. Setelah jumlah baku tembak dan kontak senjata sempat menurun antara tahun 1880-1882, pertempuran kembali pecah. Dalam perang tahap ketiga ini, Belanda memperkuat garis pertahanannya dengan mendirikan 16 buah benteng yang masing-masing dijaga oleh 100 orang prajurit. Ini merupakan usul dari Menteri Peperangan Belanda, Jenderal August Willem Philip Weitzel, yang menganggap bahwa dengan membangun beberapa basis konsentrasi pertahanan dan merampingkan jumlah pasukan, Aceh akan lebih mudah ditaklukkan. Sebelum itu, disebutkan bahwa Perang Aceh yang berlarut telah menguras banyak kas negara Belanda, yakni menghabiskan sekitar 20 juta Gulden setiap tahun yang merupakan sepertujuh dari pengeluaran pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian, disinggung mengenai Insiden Kapal Nicero, yakni penyanderaan sebuah kapal uap Inggris yang mengangkut ratusan karung gula oleh Uleebalang penguasa Teunom, Teuku Imam Muda. Dituliskan bagaimana sang Uleebalang dengan cerdik memanfaatkan penyanderaan ini untuk mendapatkan keuntungan sekaligus menjaga kedaulatan Aceh. Disebutkan pula kiprah awal Teuku Umar, yang berpura-pura berdamai dengan Belanda dan bersedia menjadi abdinya, namun kemudian berkhianat setelah ia memanfaatkan Insiden Kapal Nicero untuk memperluas pengaruhnya di Aceh Besar.

Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai peranan Teungku Cik di Tiro sebagai figur ulama yang muncul memimpin perang jihad pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah. Ia sukses menyatukan kalangan bangsawan dengan ulama yang sempat berseteru sebelumnya. Teungku Cik di Tiro (bersama putranya, Teungku Cik Kutakarang) juga giat menulis karya sastra bertemakan kisah kepahlawanan dalam bahasa Aceh, guna membakar semangat api perlawanan masyarakat Aceh terhadap Belanda. Salah satunya adalah Hikayat Perang Sabil, yang syairnya kerap digaungkan pada berbagai acara keramaian di banyak meunasah (masjid) pada malam hari. Dengan cara ini, Teungku Cik di Tiro sukses merekrut banyak tenaga tempur untuk membantu pasukan Aceh.

Salah satu prestasi tempur Teungku Cik di Tiro adalah saat ia dan putranya bersama 400 pasukan berhasil menyusup dan menembus pertahanan Belanda, kemudian menghancurkan jalur-jalur trem, kawat telegram, dan kompleks perumahan perwira Belanda dengan dinamit. Serangan ini dilancarkan pada tahun 1887-1888, dan sempat membuat panik Belanda.

Teungku Cik di Tiro wafat pada Januari 1891. Kematiannya membuat serangan gerilya Aceh berkurang, bahkan pasukan Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Putranya, Teungku Cik Kutakarang, bersama Habib Samalanga, gagal menggalang kekuatan yang lebih besar. Akibatnya, laskar Aceh kembali terpecah dan semakin pecah menjadi berbagai kelompok kecil. Faktor-faktor inilah yang kelak memudahkan Belanda dalam menggempur Aceh pada perang selanjutnya.

Bab VII : Perang Aceh Keempat [1898-1910]

Bab ini menjelaskan mengenai jalannya Perang Aceh Keempat, yakni tahapan terakhir Perang Aceh. Dimulai dari pelantikan van Heutsz, seorang perwira Marsose (Mareschaussee) yang keras dan haus perang sebagai Gubernur Militer Belanda dalam Perang Aceh. Pelantikan van Heutsz dinilai tepat oleh Snouck Hurgronje, penasihat resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang menganggap bahwa konsep peperangan van Heutsz yang penuh kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menaklukkan Aceh.

Selama periode ini, pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap Aceh. Istana Aceh terakhir, Keumala, berhasil ditaklukkan pada Juni 1898, meskipun Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) berhasil lolos. Pada Februari 1899, Belanda menggempur Meulaboh dan melancarkan serangan malam yang menewaskan Teuku Umar. Bab ini kemudian juga menceritakan sedikit mengenai Cut Nyak Dien dan riwayat perjuangannya. Antara 1900-1903, Belanda menggempur seluruh pesisir utara Aceh untuk memburu Sultan Aceh dan Panglima Polem. Keduanya akhirnya menyerah setelah Belanda menculik dan menawan sejumlah anggota keluarga mereka.

Bab VIII : Sistem Perang Hutan Sejak 1900

Bab ini membahas mengenai ekspedisi penaklukan terhadap sisa-sisa pertahanan Aceh pada awal abad ke-20, serta keadaan Aceh di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca penyerahan diri Sultan Muhammad Daud Syah, Kesultanan Aceh boleh dibilang telah runtuh. Namun, perlawanan masih terus berlangsung di berbagai daerah dipimpin oleh para ulama hingga 1913. Dikisahkan mengenai genosida di Gayo dan Alas oleh korps Marsose Belanda yang terkenal brutal dan ganas. Di bawah pimpinan Letkol Gotfried van Daalen, pasukan Belanda mengadakan penyisiran ke pedalaman Gayo dan Alas di Aceh Tengah, sambil membunuh ribuan penduduk dengan kejam. Diperkirakan hampir 3.000 warga tewas dibantai oleh pasukan Belanda.

Kemudian disinggung mengenai pengadaan Traktat Pendek (Korte Verklaring) di Aceh, dimana negeri-negeri yang diperintah oleh para uleebalang tetap dibiarkan ada dan hanya menjadi protektorat Belanda. Setelah itu disajikan informasi tentang  ‘perpecahan’ van Heutsz dan Snouck Hurgronje, setelah van Heutsz yang telah dilantik sebagai Gubernur Aceh mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tak disukai oleh Snouck Hurgronje.

Bagian terakhir bab ini membahas mengenai situasi di Aceh pasca takluk oleh Hindia Belanda. Disebutkan bahwa masih ada perlawanan sporadis hingga tahun 1942. Dijelaskan pula bagaimana orang Aceh telah mengalami degradasi moral yang sangat drastis hingga konon membuat kesenian rakyat lenyap sama sekali. Seorang dokter Belanda dari Batavia memperkirakan bahwa lebih dari 1.000 orang Aceh positif gila dari total 700.000 orang penduduk Aceh saat itu.

Bab IX : Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

Bab ini membahas mengenai berbagai revolusi di Aceh sepanjang abad ke-20. Dimulai dari berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada 1939 yang diketuai oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, sebuah gerakan anti-Belanda. Kemudian dijelaskan secara ringkas tentang pendudukan Jepang di Aceh, berakhirnya Perang Dunia II yang menyebabkan pecahnya revolusi kemerdekaan Indonesia.

Setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai di Aceh, pemerintah baru di Jakarta melantik seorang uleebalang lokal, Teuku Nyak Arif, sebagai Residen Aceh.  Cetusan proklamasi Indonesia didukung oleh rakyat Aceh terutama kalangan muda-mudi. Namun, dijelaskan bahwa kemudian pecah sebuah konflik bersenjata akibat kevakuman kekuasaan antara orang-orang PUSA melawan kaum uleebalang atau bangsawan.

Disajikan pula informasi mengenai perlawanan Daud Beureueh terhadap Indonesia pasca pembubaran RIS (1950) dan peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara (1951). Keputusan ini dinilai sangat mengecewakan masyarakat Aceh, karena beberapa tahun sebelumnya Soekarno telah berjanji kepada Daud Beureueh dan para pemuka masyarakat Aceh untuk memberikan status otonomi khusus kepada Aceh. Diceritakan bahwa Daud Beureueh awalnya bergabung dengan Darul Islam Indonesia (DI/TII) bentukan Kartosoewirjo, tetapi kemudian sempat juga bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia bersama PRRI dan Permesta.

Setelah itu, dijelaskan secara panjang lebar mengenai sejarah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dicetuskan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976, untuk melawan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Sejak itu dimulailah konflik gerilya berkepanjangan antara GAM melawan TNI dari Indonesia, yang terus berlangsung bahkan hingga lengsernya Soeharto.  Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Indonesia menetapkan status Darurat Militer terhadap Aceh dari 19 Mei 2003 sampai 18 Mei 2004. Sebelum itu, sempat diadakan perjanjian damai GAM-Indonesia di Jenewa pada 2002, namun konflik bersenjata masih terus berlangsung.

Bab X : Tsunami Pembuka Pintu Harapan

Bab ini membahas babak akhir dari konflik GAM dengan Indonesia, yang disebabkan oleh sebuah bencana alam yang sama-sama menghantam dan membuat terpukul kedua belah pihak. Minggu, 26 Desember 2004, sebuah gempa sebesar 9,3 SR mengguncang lepas pantai barat Sumatera, di antara Pulau Simeulue dan Meulaboh. Gempa ini menyebabkan timbulnya gelombang tsunami setinggi 30 meter yang menghantam sebagian besar Aceh. Diperkirakan sebanyak 230.000 jiwa meninggal dan lebih dari 36.000 orang dinyatakan hilang. Bencana ini adalah ‘Tsunami Aceh 2004’.

Kemudian, disinggung mengenai kunjungan dan pendapat SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang mana belum lama terpilih sebagai Presiden Indonesia. Pasca melakukan kunjungan langsung ke Aceh, SBY kemudian juga menemui kalangan GAM dan menawarkan untuk menghentikan konflik. Ia sendiri akhirnya memutuskan untuk mengakhiri konflik Aceh dan ingin mewujudkan perdamaian. Orang-orang GAM menyambut penawaran ini dengan tangan terbuka. Tsunami telah membuka pintu harapan. Maka dari itu, diadakanlah serangkaian dialog antara wakil GAM dan wakil Indonesia di Helsinki, ibukota Finlandia. Akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 2005, sebuah Perjanjian Damai Helsinki dilaksanakan dan ditandatangani oleh Malik Mahmud yang mewakili GAM dengan Hamid Awaluddin yang mewakili Indonesia.

Setelah itu, bagian akhir bab ini membahas tentang komentar sejumlah politikus di Jakarta yang mana mayoritas menilai dengan sinis bahwa Perjanjian Helsinki akan sangat membahayakan masa depan bangsa Indonesia dan terkesan terlalu memihak ke GAM. Namun, kemudian dihadirkan pula pendapat dari Yusuf Wanandi yang menganggap bahwa para politikus tersebut kurang mengetahui latar belakang sejarah dan akar permasalahan sebenarnya yang menyebabkan konflik berlarut di Aceh. Penulis kemudian menambahkan satu poin bahwa faktor utama yang mendasari SBY adalah kejenuhan karena konflik masih saja melarut.

Bab XI : Profil Partai Lokal di Aceh

Bab terakhir dari buku ini menyajikan profil dari partai-partai lokal yang ada di Aceh sejak ditetapkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 yang disahkan pada 11 Juli 2006. Menurut buku ini, ada enam partai politik lokal di Aceh, yakni PAAS (Partai Aceh Aman Seujahtra), PDA (Partai Daulat Aceh), Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh), PRA (Partai Rakyat Aceh), Partai Aceh, dan PBA (Partai Bersatu Atjeh).


Kelebihan dan Kekurangan Buku
  • Kelebihan: Buku ini memuat informasi yang cukup lengkap dan faktual. Sangat membantu dan bisa menjadi referensi bagi mereka yang sedang mempelajari sejarah Aceh. Pembawaan kalimatnya juga cukup sederhana dan mudah dipahami.
  • Kekurangan: Ada sejumlah typo, serta sedikit ketidaksinkronan dalam kronologi atau penanggalan yang ditemui dalam beberapa bab.
----------

Referensi: Kawilarang, Harry. 2008. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing. ~> (library.fis.uny.ac.id)