Kita tentunya sudah tak asing lagi dengan hewan khas Indonesia yang satu ini. Biawak Komodo, atau cukup dipanggil komodo (Varanus komodoensis) adalah sejenis kadal raksasa yang hanya dapat ditemui di beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur, yakni Flores, Gili Motang, Gili Dasami, Komodo, Padar, dan Rinca. Dengan panjang mampu mencapai 3 meter dan berat 70 kg, ia merupakan spesies kadal terbesar yang masih bertahan hidup.
Seekor komodo memamerkan kegagahannya. (©Caters News Agency) |
Banyak orang menganggap bahwa ukuran tubuhnya yang besar adalah akibat dari terjadinya gigantisme pulau (island gigantism), yakni kondisi dimana tak ada karnivora besar lain di pulau-pulau tempat tinggal biawak ini, sehingga komodo tumbuh menjadi raksasa. Namun, dari hasil studi terbaru didapat kesimpulan bahwa komodo di Nusa Tenggara Timur sebenarnya merupakan populasi relik dari spesies biawak raksasa yang berasal dari Australia. Sekumpulan fosil yang dinyatakan sebagai fosil komodo telah ditemukan di wilayah Queensland, Australia yang berusia lebih dari 3,8 juta tahun lalu pada Kala Pliosen.
Sepasang komodo berebut mangsa, seekor kambing malang yang pincang. (©Caters News Agency) |
Para ilmuwan berspekulasi bahwa leluhur komodo adalah sejenis biawak primitif (Varanus sp.) yang diperkirakan berasal dari Afrika dan bermigrasi ke Australia dengan menyeberangi samudra sekitar 40 juta tahun lalu, tepatnya pada Kala Eosen. Kemudian, pada Kala Miosen (15 juta tahun lalu), terjadi sebuah tumbukan antara daratan Sahul (Australia-Papua) dengan Sunda (Indo-Malaya) yang menyebabkan munculnya kepulauan Indonesia. Ini membuat komodo di Australia memperluas persebaran mereka hingga pulau Timor.
Pada Kala Pleistosen, terjadilah sebuah periode yang kita kenal sebagai Zaman Es yang menyebabkan penurunan permukaan laut yang drastis sehingga terciptalah sebuah jembatan darat yang menghubungkan pulau-pulau di Nusa Tenggara - termasuk Flores dan sekitarnya - yang memungkinkan para kadal raksasa ini untuk mengekspansi pulau-pulau tersebut. Diperkirakan komodo saat itu menyebar ke seluruh kepulauan Nusa Tenggara.
Daratan Sunda dan Sahul pada Zaman Es. (©Maximilian Dörrbecker) |
Spesimen fosil V. komodoensis dari Queensland, Australia. (©PLoS One) |
Di Flores, komodo merupakan predator darat terbesar di pulau tersebut selama akhir Kala Pleistosen. Ia hidup berdampingan dengan sejenis bangau tongtong raksasa (Leptoptilos robustus), gajah kerdil (Stegodon florensis dan Stegodon sondarii), kura-kura raksasa (Megalochelys atlas), dan manusia kerdil alias Hobbit (Homo floresiensis), serta beberapa jenis tikus raksasa dan sejenis biawak besar lain (Varanus hooijeri).
Sekitar 10.000 tahun yang lalu, diperkirakan terjadi sebuah letusan gunung berapi dahsyat di Flores yang menyebabkan kepunahan besar-besaran. Bangau raksasa, stegodon, kura-kura, serta para hobbit menghilang dari Flores, meninggalkan komodo - dan beberapa tikus raksasa - sebagai megafauna terakhir yang tersisa di pulau tersebut...
Megafauna Pleistosen yang ditemukan di situs fosil Liang Bua, Flores. (©PastTimePaleo) |
Ketika Zaman Es berakhir setelah terjadinya periode glasial akhir, permukaan laut kembali naik sehingga kepulauan Indonesia kembali terpecah, menyebabkan komodo dan makhluk lain di kepulauan Nusa Tenggara terisolasi dari benua utama. Populasi terakhir komodo di Australia punah pada akhir Kala Pleistosen (40.000 tahun lalu) bersama dengan berbagai jenis megafauna lain termasuk spesies biawak raksasa yang bahkan berukuran lebih besar dari komodo itu sendiri, Megalania (Varanus priscus) yang merupakan kadal terbesar sepanjang masa, yang mampu mencapai panjang tubuh hingga 7 meter.
Rekonstruksi dari Megalania, spesies kadal terbesar sepanjang masa. (©Vlad Konstantinov) |
Penyebab kepunahan massal di Australia hingga kini masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Sebagian besar sepakat bahwa perubahan iklim pada akhir Zaman Es-lah penyebabnya, namun banyak juga yang mengatakan bahwa umat manusia-lah yang bertanggung jawab. Memang, semenjak manusia yang diwakili oleh bangsa Melanesia tiba di daratan Sahul pada 90.000 tahun yang lalu, mereka melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Pembakaran secara besar-besaran inilah yang membuat jumlah lahan hijau di Australia berkurang dengan signifikan, sehingga populasi megafauna yang sangat bergantung pada hutan pun menurun drastis.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komodo sebenarnya adalah pendatang dari Australia, bukan hewan asli Indonesia. Namun, saat ini Indonesia-lah tempat pertahanan terakhir dari para kadal raksasa ini, sehingga komodo pun menjadi hewan endemik di sini. Meski terancam oleh adanya eksploitasi alam ataupun perburuan oleh manusia yang masih kerap kali terjadi, namun populasi hewan ini relatif stabil. Status konservasinya saat ini adalah VU (Vulnerable atau Rentan).
Oleh karena itu, bersyukurlah kita masih dapat menyaksikan kegagahan dari naga raksasa yang kharismatik ini...
Oleh karena itu, bersyukurlah kita masih dapat menyaksikan kegagahan dari naga raksasa yang kharismatik ini...
Pertarungan mematikan antara dua pejantan komodo. (©Andrey Gudkov) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar