Jumat, 07 September 2018

Resensi Buku “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki”


Judul: “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki”
Penulis: Harry Kawilarang
Penyunting: Murizal Hamzah
Penerbit: Bandar Publishing
Tahun Terbit: 2008
Tebal Buku: xxiv + 230 halaman
ISBN:  978-176845-2

Sinopsis

            Buku ini menyuguhkan informasi tentang sejarah Aceh yang panjang terbentang dari masa kerajaan-kerajaan Islam awal yakni Perlak dan Samudra Pasai, era Kesultanan Aceh Darussalam, Perang Aceh, hingga Perjanjian Helsinki antara GAM dengan Indonesia yang mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Buku ini terbagi menjadi sebelas bab, beserta sejumlah kata pengantar dan sebuah kronologi. Kita akan mengupas seluruh bab tersebut satu persatu berikut kronologi serta salah satu kata pengantar. Berikut penjelasannya:


Kata Pengantar : Menguak Sejarah di Bawah Karpet oleh Irwandi Yusuf

Irwandi Yusuf adalah seorang mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertugas sebagai negosiator dalam organisasi tersebut. Dalam kata pengantar ini, beliau mengisahkan pengalamannya kala berkunjung ke sebuah museum di Inggris pada tahun 1999 untuk melihat koleksi koin peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam. Beliau menuliskan bagaimana koin-koin tersebut tidak dipamerkan dan hanya boleh dilihat oleh segelintir orang saja, karena perjanjian politik antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Indonesia.

Beliau lantas mengeluhkan tentang mengapa sejarah Aceh masih tidak begitu diperhatikan, dan bagaimana masyarakat Aceh kerap menjadikan sejarah sebagai dongeng karena jarang ditulis atau pelaku sejarah duluan meninggal dunia. Irwandi Yusuf menyambut gembira buku karya Harry Kawilarang ini, dan berkeyakinan bahwa sejarah bisa dijadikan landasan berpijak untuk bergerak ke depan.


Kronologis Sejarah Aceh

Bagian ini menuliskan kronologi urutan peristiwa penting yang terjadi di Aceh dari tahun 1350 sampai 15 Agustus 2005. Setiap peristiwa dijelaskan secara singkat. Dimulai dari peperangan antara Samudra Pasai melawan Majapahit, bangkitnya Banda Aceh sebagai bandar dagang pada abad ke-16, rivalitas antara Aceh dengan Portugis Malaka, pengiriman sejumlah misi diplomatik kepada penguasa-penguasa Barat seperti Turki dan Inggris, hingga naik tahtanya Sultan Iskandar Muda.

Kronologi berlanjut ke tahun 1873, yakni kala pecahnya Perang Aceh. Dengan ringkas, dijelaskan peristiwa-peristiwa yang menentukan selama jalannya konflik Aceh-Belanda dari 26 Maret 1873 hingga 1876, dan terus berlanjut sampai Perang Dunia II saat terusirnya Belanda dari Aceh pada Maret 1942. Kemudian secara ringkas juga dituliskan mengenai pasang surut hubungan Aceh-Indonesia dari 15 September 1945 di masa kemerdekaan, Darul Islam (1953-1958), hingga masa konflik bersenjata GAM melawan TNI yang berlangsung dari 4 Desember 1976 hingga terciptanya perjanjian damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Bab I : Awal dari Sejarah Aceh

Pada bab pertama buku ini, penulis menyajikan informasi tentang masa awal sejarah Islam di Aceh yang dimulai dari munculnya Kesultanan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai, yang masing-masing diperkirakan berdiri sejak abad ke-9 dan abad ke-13. Kemudian dilanjutkan di abad ke-14, kala Pasai diserbu dan dikalahkan oleh Majapahit. Penulis menyinggung secara singkat bagaimana tawanan perang dari Pasai turut andil dalam menyebarkan Islam di Jawa. Dijelaskan pula tentang bagaimana Kerajaan Malaka di Semenanjung Malaya menjalin hubungan dengan Pasai atas saran Majapahit, dan berujung pada pengislaman Malaka yang lalu menyebarkannya ke seluruh Semenanjung Malaya.

Pembahasan dilanjutkan dengan bangkitnya Kesultanan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Dijelaskan bagaimana Aceh berperan dalam menyebarkan Islam dan aksara Jawi ke seantero Nusantara. Kemudian dilanjutkan ke masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang sukses membawa Aceh ke puncak kejayaannya, dengan serangkaian ekspansi sepanjang awal abad ke-17 terhadap sebagian besar negeri di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Penulis juga menyinggung tentang diplomasi Aceh dengan berbagai bangsa seperti Turki, Inggris, Belanda, dan Perancis. Misi-misi diplomatik tersebut sukses membawa pulang hadiah, dimana Turki Usmani mengirimkan bantuan armada guna membantu memajukan militer Aceh,  Inggris mengirim hadiah berupa meriam, dan Perancis menghadiahkan sebuah cermin yang menjadi cikal bakal dari adanya Bale Ceuremeen dalam Istana Dalam Darod Donya Aceh.

Yang paling menarik adalah informasi mengenai hubungan awal Aceh dengan Belanda yang rupanya cukup mesra. Dituliskan bahwa Pangeran Maurits van Oranje mengirim surat ke Aceh Darussalam untuk meminta bantuan guna melawan Kerajaan Spanyol yang sedang menjajah Belanda. Sultan Aceh membalasnya dengan mengirimkan rombongan utusan ke Belanda pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang-orang Nusantara pertama yang berkunjung ke Belanda. Dalam kunjungan ini, Tuanku Abdul Hamid sakit dan wafat di sana. Oleh para pembesar Belanda, sang utusan Aceh dimakamkan secara besar-besaran dengan cara Nasrani di halaman sebuah gereja (karena orang Belanda saat itu belum pernah memakamkan orang Islam).

Kemudian disinggung pula mengenai reformasi yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap sistem administrasi pemerintahan Aceh. Setelah itu, dijelaskan bagaimana Aceh mulai mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Iskandar Muda, masa pemerintahan para raja perempuan sepanjang tahun 1641-1699, desentralisasi dan lepasnya sejumlah vassal(negara bawahan) di Semenanjung Malaya, hingga perebutan pengaruh di Sumatera Utara dengan Kesultanan Siak pada abad ke-18 dan ke-19.

Pada bagian akhir bab ini, dijelaskan mengenai lada hitam sebagai salah satu komoditas ekspor utama yang mendatangkan keuntungan yang sangat banyak bagi Aceh, serta bagaimana dibukanya Pelabuhan Penang oleh Inggris berpengaruh pada kemajuan ekonomi bagi kota-kota pelabuahn di pantai barat Aceh seperti Aceh Singkil dan Meulaboh. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang perang saudara yang pecah pada awal abad ke-19 antara Jauhar al-Alam dengan Saif al-Alam, dan bagaimana Thomas Stamford Raffles turut berperan dalam mengendurkan konflik tersebut.

Bab II : Perjanjian Inggris-Belanda 1824

Bab ini diawali dengan informasi tentang meredanya ketegangan antara Inggris dengan Belanda di Asia Tenggara pasca berakhirnya Perang Napoleon, dan bagaimana kedua negara tersebut menandatangani sejumlah perjanjian yang berujung pada pertukaran koloni di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Puncaknya adalah Perjanjian Inggris-Belanda 1824, yang menegaskan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat yang tak boleh dicampuri urusannya baik oleh Belanda maupun Inggris. Perjanjian inilah yang digadang-gadang sepenuhnya mengakhiri konflik Inggris-Belanda di Asia Tenggara setelah Perang Napoleon. Namun, pada kenyataannya perjanjian ini gagal karena kedua pihak tetap saja dilanda kompetisi untuk mendominasi perdagangan di Selat Malaka. Belanda yang sedang terancam bangkrut memerlukan dana untuk pembangunan kembali negerinya yang hancur selama Perang Napoleon.

Kemudian disinggung mengenai sejumlah tokoh Belanda yang berpengaruh di Nusantara pada awal abad ke-19 seperti Warner Muntinghe, Herman Willem Daendels, dan Johannes van den Bosch. Setelah itu, dituliskan sekilas tentang hubungan antara Aceh dengan Amerika Serikat. Ada satu peristiwa pada tahun 1832, ketika para pedagang Amerika yang merasa tak aman oleh para bajak laut yang berpangkalan di Aceh, menyerang salah satu uleebalang di Aceh Barat, Kuala Batu (Kuala Batee) yang diindikasikan merupakan salah satu sarang bajak laut. Juga disebutkan tentang Perjanjian Sumatera 1871 yang berisi persetujuan untuk menukar sejumlah daerah koloni di Afrika Barat milik Belanda kepada Inggris, serta diperbolehkannya Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera, termasuk Aceh.

Bab dilanjutkan dengan kisah mengenai dua orang petinggi Aceh yang berperan besar dalam diplomasi Aceh dengan negeri-negeri lain. Yang pertama ialah seorang Habib asal Yaman yang berpetualang ke Nusantara dan kemudian mengabdi pada Aceh, yakni Habib Abdurrachman al-Zahir (1832-1896). Yang kedua adalah Panglima Tibang Muhammad, seorang perantau dari India.

Bab III : Lobi Aceh di Pentas Internasional

Sebuah subjudul yang sangat mencolok ditulis sebagai pembuka bab ini, yakni ‘Sabang Ditawar ke Amerika’. Rupanya, Aceh yang merasa terancam oleh ekspansi Hindia Belanda pernah meminta bantuan Amerika Serikat, salah satunya adalah dengan menawarkan Pulau Weh kepada mereka. Meskipun, pada akhirnya Amerika memang menolak untuk membantu Aceh.

Selain dengan Amerika Serikat, Sultan Aceh juga mengirim kedua orang diplomat ulungnya, Habib Abdurrachman dan Panglima Tibang, sebagai utusan masing-masing ke Turki dan ke Singapura. Di Turki, Habib Abdurrachman menemui para petinggi Turki Usmani untuk memohon bantuan militer. Sementara di Singapura, Panglima Tibang menemui perwakilan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Italia, dan menyampaikan pesan Aceh bahwa ia mengharapkan bantuan mereka untuk mencegah Belanda menyerang Aceh. Juga dituliskan mengenai kiprah pemerintahan Inggris di Penang terhadap konflik Aceh-Belanda.

Bab ini ditutup dengan penjelasan ringkas perihal Belanda yang mencari-cari alasan untuk bisa menyerang Aceh. Dan alasan itu adalah pertemuan utusan Sultan Aceh dengan diplomat Amerika dan Italia di Singapura. Belanda yang khawatir terhadap kemungkinan campur tangan asing terhadap konfliknya dengan Aceh, segera mengumumkan perang terhadap negeri tersebut.

Bab IV : Perang Aceh Pertama [1873]

Sesuai dengan judul, bab ini menjelaskan jalannya Perang Aceh Pertama yang berlangsung dari tanggal 25 Maret sampai 25 April tahun 1873. Dimulai dari pendaratan pasukan Belanda pimpinan Mayjen JHR Kohler di Pantai Ceureumen Banda Aceh (8 April), penyerangan dan pendudukan Masjid Raya Baiturrahman (11 April), hingga terbunuhnya Mayjen Kohler oleh sebutir peluru dari pasukan Aceh pimpinan Panglima Polem (14 April). Kematian pemimpin mereka membuat moral pasukan Belanda turun drastis, hingga akhirnya memutuskan untuk mundur setelah kewalahan melawan pasukan dan masyarakat Aceh yang bertempur dengan gigih (25 April).

Kemudian disajikan informasi tentang bagaimana berita kekalahan Belanda di Aceh ini dengan cepat tersebar ke seluruh dunia dan dimuat di berbagai media seperti Reuters, London Times, dan The New York Times. Berita yang dipelopori oleh Reuters ini menggemparkan publik Eropa dan Amerika, sehingga memaksa pemerintah Inggris yang pro-Belanda untuk menekan pemilik Kantor Berita Reuters, Baron Paul Julius von Reuter, agar tidak lagi menampilkan berita mengenai Perang Aceh.

Pembahasan dilanjutkan dengan perbedaan pendapat para politisi Belanda dalam Parlemen di Den Haag, yang terpecah menjadi kubu pro-Aceh dan kubu anti-Aceh. Dituliskan juga mengenai Dewan Delapan di Penang, yakni sekumpulan pedagang Muslim (dua di antaranya orang Aceh) yang melakukan gerakan anti-Belanda dan menggalang dana bagi Kesultanan Aceh di Penang.

Ada pula lanjutan informasi mengenai perjuangan diplomasi Habib Abdurrachman di Turki dan Panglima Tibang di Singapura, yang sayangnya berakhir dengan kegagalan. Bab ini ditutup dengan usaha diplomasi terakhir Aceh yakni menawarkan aliansi dengan Amerika Serikat, yang sayangnya ditolak.

Bab V : Perang Aceh Kedua [1874-1880]

Bab ini membahas jalannya Perang Aceh Kedua yang berlangsung dari 1874 hingga 1880. Perang dimulai dengan digempurnya kembali Masjid Raya Baiturrahman oleh pasukan Belanda yang sukses mendudukinya kembali (6 Januari 1874), dilanjutkan dengan penyerbuan ke kompleks Istana Aceh (24 Januari 1874) yang kemudian berhasil dikuasai sepenuhnya (26 Januari 1874). Hingga akhir tahun 1874, pasukan Belanda telah berhasil menguasai hampir seluruh Banda Aceh.
Sepanjang tahun 1875-1877, pasukan Belanda menyerang pesisir barat dan utara Aceh secara berturut-turut, namun mengalami perlawanan yang sengit dari pasukan Aceh yang menerapkan perang gerilya. 

Kemudian dituliskan mengenai Habib Abdurrachman yang kembali memegang peran penting. Sang Habib yang baru kembali dari Turki pada 1876 langsung diberi wewenang sebagai pemimpin perang melawan Belanda oleh sebagian besar uleebalang Aceh, pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah. Jabatan Sultan Aceh sendiri diisi oleh Tuanku Daud yang masih berusia 10 tahun.
Namun rupanya, harapan Aceh pada Habib Abdurrachman terbukti terlampau tinggi. Sang Habib sebagai panglima perang tak kunjung menyerang pasukan Belanda meskipun mereka sempat mengurangi jumlah prajuritnya. 

Pada 1878, saat akhirnya sang Habib memimpin penyerangan terhadap pasukan Belanda pimpinan Jenderal Diemont di pantai utara Krueng Raba, pasukan Aceh yang sempat mengepung benteng Belanda di sana segera dapat dipukul mundur oleh pasukan bantuan Belanda pimpinan Van der Heijden. Habib Abdurrachman yang terdesak akhirnya memilih untuk menyerah. Oleh Belanda, sang Habib dan pengikutnya dipersilahkan untuk berlayar ke Mekkah, dan bahkan dihadiahkan uang pensiun seumur hidup dengan syarat dilarang kembali ke Aceh. Ini menjadi pukulan keras bagi masyarakat Aceh yang merasa telah ditipu oleh sang Habib. Seiring dengan menyerahnya Habib Abdurrachman, maka Perang Aceh Kedua pun berakhir.

Bab VI : Perang Aceh Ketiga [1884-1896]

Bab ini membahas jalannya Perang Aceh Ketiga. Setelah jumlah baku tembak dan kontak senjata sempat menurun antara tahun 1880-1882, pertempuran kembali pecah. Dalam perang tahap ketiga ini, Belanda memperkuat garis pertahanannya dengan mendirikan 16 buah benteng yang masing-masing dijaga oleh 100 orang prajurit. Ini merupakan usul dari Menteri Peperangan Belanda, Jenderal August Willem Philip Weitzel, yang menganggap bahwa dengan membangun beberapa basis konsentrasi pertahanan dan merampingkan jumlah pasukan, Aceh akan lebih mudah ditaklukkan. Sebelum itu, disebutkan bahwa Perang Aceh yang berlarut telah menguras banyak kas negara Belanda, yakni menghabiskan sekitar 20 juta Gulden setiap tahun yang merupakan sepertujuh dari pengeluaran pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian, disinggung mengenai Insiden Kapal Nicero, yakni penyanderaan sebuah kapal uap Inggris yang mengangkut ratusan karung gula oleh Uleebalang penguasa Teunom, Teuku Imam Muda. Dituliskan bagaimana sang Uleebalang dengan cerdik memanfaatkan penyanderaan ini untuk mendapatkan keuntungan sekaligus menjaga kedaulatan Aceh. Disebutkan pula kiprah awal Teuku Umar, yang berpura-pura berdamai dengan Belanda dan bersedia menjadi abdinya, namun kemudian berkhianat setelah ia memanfaatkan Insiden Kapal Nicero untuk memperluas pengaruhnya di Aceh Besar.

Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai peranan Teungku Cik di Tiro sebagai figur ulama yang muncul memimpin perang jihad pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah. Ia sukses menyatukan kalangan bangsawan dengan ulama yang sempat berseteru sebelumnya. Teungku Cik di Tiro (bersama putranya, Teungku Cik Kutakarang) juga giat menulis karya sastra bertemakan kisah kepahlawanan dalam bahasa Aceh, guna membakar semangat api perlawanan masyarakat Aceh terhadap Belanda. Salah satunya adalah Hikayat Perang Sabil, yang syairnya kerap digaungkan pada berbagai acara keramaian di banyak meunasah (masjid) pada malam hari. Dengan cara ini, Teungku Cik di Tiro sukses merekrut banyak tenaga tempur untuk membantu pasukan Aceh.

Salah satu prestasi tempur Teungku Cik di Tiro adalah saat ia dan putranya bersama 400 pasukan berhasil menyusup dan menembus pertahanan Belanda, kemudian menghancurkan jalur-jalur trem, kawat telegram, dan kompleks perumahan perwira Belanda dengan dinamit. Serangan ini dilancarkan pada tahun 1887-1888, dan sempat membuat panik Belanda.

Teungku Cik di Tiro wafat pada Januari 1891. Kematiannya membuat serangan gerilya Aceh berkurang, bahkan pasukan Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Putranya, Teungku Cik Kutakarang, bersama Habib Samalanga, gagal menggalang kekuatan yang lebih besar. Akibatnya, laskar Aceh kembali terpecah dan semakin pecah menjadi berbagai kelompok kecil. Faktor-faktor inilah yang kelak memudahkan Belanda dalam menggempur Aceh pada perang selanjutnya.

Bab VII : Perang Aceh Keempat [1898-1910]

Bab ini menjelaskan mengenai jalannya Perang Aceh Keempat, yakni tahapan terakhir Perang Aceh. Dimulai dari pelantikan van Heutsz, seorang perwira Marsose (Mareschaussee) yang keras dan haus perang sebagai Gubernur Militer Belanda dalam Perang Aceh. Pelantikan van Heutsz dinilai tepat oleh Snouck Hurgronje, penasihat resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang menganggap bahwa konsep peperangan van Heutsz yang penuh kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menaklukkan Aceh.

Selama periode ini, pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap Aceh. Istana Aceh terakhir, Keumala, berhasil ditaklukkan pada Juni 1898, meskipun Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) berhasil lolos. Pada Februari 1899, Belanda menggempur Meulaboh dan melancarkan serangan malam yang menewaskan Teuku Umar. Bab ini kemudian juga menceritakan sedikit mengenai Cut Nyak Dien dan riwayat perjuangannya. Antara 1900-1903, Belanda menggempur seluruh pesisir utara Aceh untuk memburu Sultan Aceh dan Panglima Polem. Keduanya akhirnya menyerah setelah Belanda menculik dan menawan sejumlah anggota keluarga mereka.

Bab VIII : Sistem Perang Hutan Sejak 1900

Bab ini membahas mengenai ekspedisi penaklukan terhadap sisa-sisa pertahanan Aceh pada awal abad ke-20, serta keadaan Aceh di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca penyerahan diri Sultan Muhammad Daud Syah, Kesultanan Aceh boleh dibilang telah runtuh. Namun, perlawanan masih terus berlangsung di berbagai daerah dipimpin oleh para ulama hingga 1913. Dikisahkan mengenai genosida di Gayo dan Alas oleh korps Marsose Belanda yang terkenal brutal dan ganas. Di bawah pimpinan Letkol Gotfried van Daalen, pasukan Belanda mengadakan penyisiran ke pedalaman Gayo dan Alas di Aceh Tengah, sambil membunuh ribuan penduduk dengan kejam. Diperkirakan hampir 3.000 warga tewas dibantai oleh pasukan Belanda.

Kemudian disinggung mengenai pengadaan Traktat Pendek (Korte Verklaring) di Aceh, dimana negeri-negeri yang diperintah oleh para uleebalang tetap dibiarkan ada dan hanya menjadi protektorat Belanda. Setelah itu disajikan informasi tentang  ‘perpecahan’ van Heutsz dan Snouck Hurgronje, setelah van Heutsz yang telah dilantik sebagai Gubernur Aceh mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tak disukai oleh Snouck Hurgronje.

Bagian terakhir bab ini membahas mengenai situasi di Aceh pasca takluk oleh Hindia Belanda. Disebutkan bahwa masih ada perlawanan sporadis hingga tahun 1942. Dijelaskan pula bagaimana orang Aceh telah mengalami degradasi moral yang sangat drastis hingga konon membuat kesenian rakyat lenyap sama sekali. Seorang dokter Belanda dari Batavia memperkirakan bahwa lebih dari 1.000 orang Aceh positif gila dari total 700.000 orang penduduk Aceh saat itu.

Bab IX : Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

Bab ini membahas mengenai berbagai revolusi di Aceh sepanjang abad ke-20. Dimulai dari berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada 1939 yang diketuai oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, sebuah gerakan anti-Belanda. Kemudian dijelaskan secara ringkas tentang pendudukan Jepang di Aceh, berakhirnya Perang Dunia II yang menyebabkan pecahnya revolusi kemerdekaan Indonesia.

Setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai di Aceh, pemerintah baru di Jakarta melantik seorang uleebalang lokal, Teuku Nyak Arif, sebagai Residen Aceh.  Cetusan proklamasi Indonesia didukung oleh rakyat Aceh terutama kalangan muda-mudi. Namun, dijelaskan bahwa kemudian pecah sebuah konflik bersenjata akibat kevakuman kekuasaan antara orang-orang PUSA melawan kaum uleebalang atau bangsawan.

Disajikan pula informasi mengenai perlawanan Daud Beureueh terhadap Indonesia pasca pembubaran RIS (1950) dan peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara (1951). Keputusan ini dinilai sangat mengecewakan masyarakat Aceh, karena beberapa tahun sebelumnya Soekarno telah berjanji kepada Daud Beureueh dan para pemuka masyarakat Aceh untuk memberikan status otonomi khusus kepada Aceh. Diceritakan bahwa Daud Beureueh awalnya bergabung dengan Darul Islam Indonesia (DI/TII) bentukan Kartosoewirjo, tetapi kemudian sempat juga bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia bersama PRRI dan Permesta.

Setelah itu, dijelaskan secara panjang lebar mengenai sejarah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dicetuskan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976, untuk melawan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Sejak itu dimulailah konflik gerilya berkepanjangan antara GAM melawan TNI dari Indonesia, yang terus berlangsung bahkan hingga lengsernya Soeharto.  Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Indonesia menetapkan status Darurat Militer terhadap Aceh dari 19 Mei 2003 sampai 18 Mei 2004. Sebelum itu, sempat diadakan perjanjian damai GAM-Indonesia di Jenewa pada 2002, namun konflik bersenjata masih terus berlangsung.

Bab X : Tsunami Pembuka Pintu Harapan

Bab ini membahas babak akhir dari konflik GAM dengan Indonesia, yang disebabkan oleh sebuah bencana alam yang sama-sama menghantam dan membuat terpukul kedua belah pihak. Minggu, 26 Desember 2004, sebuah gempa sebesar 9,3 SR mengguncang lepas pantai barat Sumatera, di antara Pulau Simeulue dan Meulaboh. Gempa ini menyebabkan timbulnya gelombang tsunami setinggi 30 meter yang menghantam sebagian besar Aceh. Diperkirakan sebanyak 230.000 jiwa meninggal dan lebih dari 36.000 orang dinyatakan hilang. Bencana ini adalah ‘Tsunami Aceh 2004’.

Kemudian, disinggung mengenai kunjungan dan pendapat SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang mana belum lama terpilih sebagai Presiden Indonesia. Pasca melakukan kunjungan langsung ke Aceh, SBY kemudian juga menemui kalangan GAM dan menawarkan untuk menghentikan konflik. Ia sendiri akhirnya memutuskan untuk mengakhiri konflik Aceh dan ingin mewujudkan perdamaian. Orang-orang GAM menyambut penawaran ini dengan tangan terbuka. Tsunami telah membuka pintu harapan. Maka dari itu, diadakanlah serangkaian dialog antara wakil GAM dan wakil Indonesia di Helsinki, ibukota Finlandia. Akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 2005, sebuah Perjanjian Damai Helsinki dilaksanakan dan ditandatangani oleh Malik Mahmud yang mewakili GAM dengan Hamid Awaluddin yang mewakili Indonesia.

Setelah itu, bagian akhir bab ini membahas tentang komentar sejumlah politikus di Jakarta yang mana mayoritas menilai dengan sinis bahwa Perjanjian Helsinki akan sangat membahayakan masa depan bangsa Indonesia dan terkesan terlalu memihak ke GAM. Namun, kemudian dihadirkan pula pendapat dari Yusuf Wanandi yang menganggap bahwa para politikus tersebut kurang mengetahui latar belakang sejarah dan akar permasalahan sebenarnya yang menyebabkan konflik berlarut di Aceh. Penulis kemudian menambahkan satu poin bahwa faktor utama yang mendasari SBY adalah kejenuhan karena konflik masih saja melarut.

Bab XI : Profil Partai Lokal di Aceh

Bab terakhir dari buku ini menyajikan profil dari partai-partai lokal yang ada di Aceh sejak ditetapkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 yang disahkan pada 11 Juli 2006. Menurut buku ini, ada enam partai politik lokal di Aceh, yakni PAAS (Partai Aceh Aman Seujahtra), PDA (Partai Daulat Aceh), Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh), PRA (Partai Rakyat Aceh), Partai Aceh, dan PBA (Partai Bersatu Atjeh).


Kelebihan dan Kekurangan Buku
  • Kelebihan: Buku ini memuat informasi yang cukup lengkap dan faktual. Sangat membantu dan bisa menjadi referensi bagi mereka yang sedang mempelajari sejarah Aceh. Pembawaan kalimatnya juga cukup sederhana dan mudah dipahami.
  • Kekurangan: Ada sejumlah typo, serta sedikit ketidaksinkronan dalam kronologi atau penanggalan yang ditemui dalam beberapa bab.
----------

Referensi: Kawilarang, Harry. 2008. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing. ~> (library.fis.uny.ac.id)

Senin, 30 Juli 2018

Sejarah Kesultanan Ternate


Perjalanan sejarah Kesultanan Ternate setiap tahun (1257-2018). Dari zaman para kolano, masa ekspansi dan rivalitas dengan Tidore, masa penjajahan bangsa Eropa, hingga melebur ke dalam Republik Indonesia.

---

Masa pemerintahan para Kolano (1257-1495):




  • 1257 - Kerajaan Gapi berdiri di Pulau Ternate, sebagai hasil musyawarah dari tiga komunitas asal Halmahera yang menetap di pulau tersebut sejak 1250, yakni Tobona, Foramadiahi, dan Sampala. Masing-masing komunitas dipimpin oleh seorang Momole (penguasa), yakni Momole Guna dari Tobona, Momole Molematiti dari Foramadiahi, dan Momole Ciko dari Sampala. Hasil musyawarah memutuskan bahwa ketiga komunitas harus bersatu menjadi sebuah negara, dan menetapkan Momole Ciko sebagai pemimpin pertamanya. Ciko pun dilantik sebagai Kolano (Raja) Gapi pertama, dengan gelar 'Baab Mashur Malamo'. Karena ia juga merupakan penguasa Sampala, maka ibukota pertama Kerajaan Ternate pun berada di kota Toboleu (Sampalu) yang merupakan pusat pemerintahan Sampala.
  • 1267 - Kolano Mashur Malamo mendirikan sebuah kota baru dengan nama Gamlamo (kemudian lebih dikenal dengan nama Ternate), yang terletak di selatan Toboleu. Ia kemudian menjadikan kota tersebut sebagai ibukota baru Kerajaan Gapi menggantikan Toboleu.
  • 1277 - Kolano Mashur Malamo wafat. Kaicil (Pangeran) Poit/Yamin dilantik sebagai penguasa Gapi kedua menggantikannya, naik tahta dengan gelar 'Yamin Kadrat'.
  • 1284 - Kaicil Kamalu dilantik sebagai Kolano Ternate ke-3 menggantikan Kolano Yamin Qadrat, dinobatkan dengan gelar 'Siale'. 
  • 1294 - Ternate memulai penyerangan terhadap Jailolo dengan menduduki beberapa desa di pesisir Sidangoli dan Dodinga, Halmahera Barat.
  • 1298 - Kaicil Bakuku naik tahta menggantikan Kolano Siale, dinobatkan dengan gelar 'Kalabatta'.
  • 1304 - Ngara Malamo naik tahta dengan gelar 'Komala'. Ia memimpin penyerangan terhadap Batucina di Jailolo.
  • 1305 - Gapi mengakhiri perang dengan Jailolo. Batucina, Sidangoli, dan Dodinga dianeksasi oleh Gapi.
  • 1317 - Patsyaranga Malamo naik tahta.
  • 1322 - Sida Arif Malamo naik tahta. Pada masa pemerintahannya, pedagang-pedagang mancanegara (Cina, Arab, Gujarat) dan Nusantara (Jawa, Makassar, Melayu) mulai berdatangan ke Maluku dan mendirikan pos-pos dagang di Ternate, Tidore, dan Makian. Sida Arif Malamo memanfaatkan hal ini untuk memajukan Kerajaan Gapi. Ia 'membuka' pelabuhan-pelabuhan di Gapi dan sukses menjadikan negerinya sebagai bandar perdagangan utama di Maluku. Gamlamo alias Ternate muncul sebagai kota pelabuhan terkaya, dimana para saudagar memanggilnya sebagai Ternate. Karena hal ini, Sida Arif Malamo pun mengganti nama negaranya dari Gapi menjadi Ternate. Ternate pun mulai mengalami peningkatan kemakmuran dengan sangat cepat. Kemudian, untuk mencegah kecemburuan dan konflik, Sida Arif Malamo mengajak para raja Maluku Utara untuk mengadakan pertemuan di Pulau Moti, dalam rangka membentuk sebuah persekutuan bersama yang diharapkan mampu mendatangkan manfaat bagi seluruh negeri di Maluku Utara. Maka, Ternate, bersama Tidore, Bacan, dan Jailolo pun bersatu dalam sebuah organisasi kenegaraan bernama 'Moloku Kie Raha', atau 'Persaudaraan Empat Penguasa Gunung'. Kemungkinan sejak tahun ini, Ternate telah menguasai Pulau Hiri.
  • 1331 - Kolano Paji Malamo (A'ali) naik tahta.
  • 1332 - Kolano Syah Alam naik tahta.
  • 1343 - Tulu Malamo naik tahta. Persekutuan Moloku Kie Raha berakhir. Tulu Malamo yang ekspansif menyerang Jailolo dan Tidore sekaligus. Pasukan Ternate berhasil menduduki kota Jailolo serta merebut pulau Moti dan Makian dari Tidore. Penyerangan ini pun otomatis menandakan berakhirnya Persekutuan Moloku Kie Raha yang telah berusia 21 tahun. Dengan kata lain, Kerajaan Ternate menjadi pihak yang memulai sekaligus mengakhiri organisasi tersebut. Akibatnya, keempat kerajaan di Maluku Utara pun kembali berkonflik dan bersitegang.
  • 1347 - Kaicil Kie Mabiji naik tahta dengan gelar 'Boheyat' (Abu Hayat I). Ternate dan Jailolo kemungkinan telah kembali berdamai. Kota Jailolo diserahkan kembali kepada Kerajaan Jailolo.
  • 1350 - Ngolo Macahaya (Cahaya Laut) naik tahta. Ia memimpin penyerangan terhadap Kerajaan Sanana yang menguasai Kepulauan Sula, dan berhasil menaklukkannya.
  • 1357 - Kolano Momole naik tahta. Sanana kemungkinan telah lepas kembali menjadi negara merdeka.
  • 1359 - Gapi Malamo naik tahta. Ternate kembali menyerang Jailolo, namun dapat dipukul mundur.
  • 1360 - Ternate yang masih berambisi untuk mencaplok Jailolo terus berusaha menaklukkannya dengan cara lain. Kolano Gapi Malamo pun memutuskan untuk mengadakan perkawinan politik. Ia menikahkan putra sulungnya, Kaicil Gapi Baguna, dengan putri penguasa Jailolo, Kaicil Kawalu. Dengan ini, Gapi Malamo mengharapkan agar putranya mendapat pengaruh besar dalam lingkungan istana Jailolo. Namun, usaha ini pada akhirnya tetap tak berhasil dalam mengimplementasikan ambisi sang Kolano.
  • 1372 - Kaicil Gapi Baguna naik tahta menggantikan Gapi Malamo dengan gelar 'Gapi Baguna I'.
  • 1377 - Kumala Putu naik tahta.
  • 1380 - Ternate, untuk kesekian kalinya, kembali menyerang Jailolo, namun kembali dapat dipukul mundur.
  • 1432 - Gapi Baguna II naik tahta.
  • 1465 - Ternate kembali menyerang Jailolo. Pasukan Ternate dengan cepat dapat menduduki kota Jailolo.
  • 1466 - Kolano Marhum naik tahta. Ia menjadi penguasa Ternate pertama yang memeluk Islam. Ia diislamkan oleh seorang pendakwah dari Jawa bernama Datu Maula Husein, yang juga mengislamkan seluruh bobato (pejabat istana) dan keluarga kerajaan Ternate. Islam pun mulai berkembang di Ternate. Serangan ke Jailolo berakhir dengan takluknya kerajaan tersebut. Kerajaan Jailolo (beserta segenap negeri bawahannya di seantero Halmahera, yakni Loloda, Wasilei, Maba, Patani, Weda, Oba, dan Gane) pun menjadi vasal Ternate. Dengan ini, hampir seluruh Halmahera telah jatuh ke dalam pengaruh Ternate. Sejak tahun ini pula, Ternate juga diperkirakan telah menguasai Kepulauan Batang Dua di Laut Maluku.
  • 1486 - Zainal Abidin naik tahta. Sebelumnya, ayahnya, Kolano Marhum yang wafat di tahun yang sama menjadi penguasa Ternate pertama yang dimakamkan sesuai syariat Islam.
  • 1490 - Jailolo dan seluruh vasalnya memberontak dan berhasil memerdekakan diri dari Ternate.
  • 1491 - Jailolo menyerang Tidore, namun dapat dipukul mundur oleh sekutu Tidore, laskar Biak dari Raja Ampat.

Masa pemerintahan Zainal Abidin dan Bayanullah (1495-1522):


  • 1495 - Kolano Zainal Abidin, didampingi oleh gurunya (Datu Maula Husein) pergi ke Pesantren Giri Kedaton di Gresik, Jawa Timur untuk belajar Islam. Di Sekolah Tinggi Islam pimpinan Sunan Giri tersebut, sang Kolano dikenal dengan julukan 'Sultan Bualawa' (Sultan Cengkih). Ia menjadi satu-satunya penguasa Maluku yang pernah menimba ilmu langsung pada seorang Walisongo. Di sini, ia menjalin persahabatan dengan Pati Tuban, penguasa Kerajaan Tanah Hitu di Maluku Tengah. Ia bermaksud menjalin persekutuan dengan Tanah Hitu dan Giri Kedaton, namun tak dapat terlaksana. Zainal Abidin pun pulang ke Ternate, sementara Datu Maula Husein tetap tinggal di Jawa yang merupakan negeri asalnya. Sebelumnya, Zainal Abidin telah berhasil merekrut beberapa ulama Jawa yang diajak ke Ternate untuk membantu menyebarkan Islam di sana. Mereka ditempatkan di sebuah permukiman yang kini bernama 'Falajawa' (rumah orang Jawa). Sesampainya di Ternate, Zainal Abidin menanggalkan gelar 'Kolano' dan menggantinya dengan 'Sultan'. Era pemerintahan Kolano pun berakhir, dan Kerajaan Ternate telah resmi berevolusi menjadi sebuah kesultanan Islam. Di tahun yang sama, Ternate mengadakan perjanjian batas wilayah dengan Tidore. Kerajaan Tidore yang tengah berekspansi ke timur menduduki wilayah Oba, Gane, Wasile, Maba, Weda, dan Patani di Halmahera. Untuk mencegah konflik, Ternate dan Tidore sepakat untuk menetapkan batas wilayah pengaruh mereka di Pulau Halmahera. Ternate menguasai wilayah dari Dodinga dan Tetewang ke utara, sementara Tidore menguasai daerah dari Oba ke selatan dan Wasile ke timur.
  • 1500 - Sultan Bayanullah (Abu Lais/Boleif/Liliatu) naik tahta. Bacan dan Tidore beraliansi menyerang Makian dan Moti untuk merebutnya dari Ternate. Keduanya berhasil, Makian direbut oleh Bacan, sementara Moti jatuh ke tangan Tidore.
  • 1511 - Ternate memulai kampanye perluasan wilayah ke selatan. Di bawah pimpinan Samarau Tomagola dan Tomaito, armada juanga Ternate berturut-turut menaklukkan Sula dan Buru, serta Huamual (Luhu/Veranula), Hitu (Ambon), Leitimor (Soya), Haruku (Hatuhaha dan Oma), Iha (Saparua), Seram Barat (Sahulau) dan Seram Timur (Nunusaku), juga Kepulauan Banda. Negeri-negeri di Kepulauan Ambon dan Huamual dijadikan vasal oleh Ternate, sementara Sula, Buru, Banda, dan Seram kemungkinan dianeksasi. Sultan Bayanullah kemudian melantik Samarau dan Tomaito sebagai Salahakan (Gubenur) masing-masing di Buru dan Sula.
  • 1512 - Ekspedisi pertama bangsa Portugis ke Nusantara timur di bawah pimpinan Antonio de Abreu dan Francisco Serrao. Masing-masing tiba di Banda dan Ambon. Serrao kemudian dijemput oleh Sultan Bayanullah ke Ternate, lalu diangkat sebagai penasihat pribadinya. Keduanya menandatangani persetujuan aliansi Portugal-Ternate. Sultan Bayanullah juga memberikan hak monopoli dagang kepada bangsa Portugis. Tidore menyerang kekuasaan Ternate di Seram dan Banda. Armada Tidore berhasil merebut Seram Timur dan pulau-pulau timur di Kepulauan Banda, yakni Lonthor (Banda Besar), Pulau Pisang, dan Rozengain. Ini menyisakan Pulau Naira (Banda Neira), Gunung Api, Ai, dan Run sebagai wilayah yang masih setia pada Ternate di Laut Banda.
Masa pemerintahan Deyalo, Boheyat, dan Tabariji (1522-1535):


  • 1522 - Bayanullah wafat, kemungkinan tewas dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena hubungan persahabatannya dengan Francisco Serrao. Putranya, Deyalo (Hidayatullah) naik tahta sebagai Sultan Ternate menggantikannya. Namun, karena masih dibawah umur (Deyalo baru berusia 6 tahun), kendali pemerintahan dipegang oleh ibunya, Nyai Cili Boki Raja (Sultana Nukila) dari Tidore, yang menjabat sebagai Mangkubumi. Paman Deyalo, Raja Muda Taruwese juga turut membantu ibunya dalam mengatur pemerintahan Kesultanan Ternate. Portugal mengirim ekspedisi keduanya ke Nusantara timur, kali ini di bawah pimpinan Antonio de Brito. Armadanya mengunjungi Banda, Ternate, dan Ambon, kemudian mendirikan benteng pertamanya di Hitu. Maka dimulailah pendudukan bangsa Eropa di Nusantara timur. Seluruh Kepulauan Ambon (kecuali Kerajaan Hitu) pun menjadi wilayah Portugis, yang mendirikan benteng di tiap daerah tersebut. Antonio de Brito kemudian dilantik sebagai Gubernur Portugis pertama di Maluku, bermarkas di Ambon. Di tahun yang sama, Portugis juga telah mendirikan benteng di Gamlamo.
  • 1523 - Portugis menduduki Banda, merebut Neira dan Lonthor dari Ternate dan Tidore.
  • 1527 - Jorge de Menezes dilantik sebagai Gubernur Portugis di Maluku. Ia menjalin hubungan yang sangat erat dengan Raja Muda Ternate, Taruwese. Keduanya bersama-sama menggempur Tidore yang bersekutu dengan Spanyol, namun dapat dipukul mundur.
  • 1528 - Diperkirakan sejak tahun ini Jailolo dan Loloda telah kembali menjadi vasal Ternate. Portugal mendirikan benteng di Ambon, menjadikan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan kolonialnya di Indonesia Timur. 
  • 1529 - Ternate (bersama Jailolo dan Loloda yang merupakan bawahannya kala itu) tampaknya telah menjadi negara bawahan Imperium Portugal sejak tahun ini. Kala itu, Sultan Deyalo baru saja dikudeta oleh Raja Muda Taruwese yang sangat akrab dengan Gubernur de Menezes. Deyalo mengungsi ke negara pamannya, Tidore, dan menjadi buron Portugis. Taruwese dan orang-orang Portugis kemudian melantik adik Deyalo, Boheyat (Abu Hayat II) sebagai Sultan Ternate yang baru.
  • 1530 - Taruwese tewas dibunuh oleh rakyat Ternate yang bekerjasama dengan de Menezes, setelah hubungan keduanya retak akibat orang-orang Portugis mulai mencampuri urusan internal keraton Ternate. Gubernur Jorge de Menezes kemudian digantikan oleh Gonzalo Pereira.
  • 1531 - Gonzalo Pereira tewas dibunuh dalam suatu konspirasi oleh anak buahnya sendiri, orang-orang Portugis dan kawan Ternate mereka. Namun, pihak Portugal menuduh Sultan Boheyat ikut berkomplot dan memenjarakannya.
  • 1532 - Vincente da Fonceca dilantik sebagai Gubernur Portugis di Maluku. Ia membebaskan Sultan Boheyat dan mengangkatnya kembali sebagai Sultan Ternate. Namun tak sampai setahun, ia dilengserkan oleh rakyatnya sendiri karena memerintah dengan represif. Ia ditangkap dan diasingkan ke Malaka, tempatnya meninggal.
  • 1533 - Tabariji, saudara tiri Deyalo dan Boheyat dinobatkan sebagai Sultan Ternate oleh da Fonceca.
  • 1534 - Tristao de Ataide dilantik sebagai Gubernur Portugis di Maluku. Selagi menjabat, ia melakukan banyak tindakan keji dan tiranik terhadap para bangsawan dan rakyat Maluku, terutama di Ternate dan Jailolo. Karena hal ini, Jailolo melepaskan diri dari penguasaan Ternate dan Portugal, kemudian lebih mendekatkan diri dengan Tidore dan Spanyol. Sultan Tabariji ditangkap dan dikirim ke Goa Portugis di India Barat untuk diadili karena dituduh berkhianat oleh de Ataide. Di Goa, ia dipaksa menandatangani perjanjian dengan Gubernur Portugis untuk menyerahkan kekuasaan Ternate di Maluku Tengah (Sula, Buru, Huamual, Hitu, Seram Barat) kepada Portugal. Sang Sultan kemudian juga bersedia untuk dibaptis menjadi seorang Kristen dengan nama 'Don Manuel Tabariji'.
Masa pemerintahan Khairun Jamil (1535-1569):


  • 1535 - Khairun Jamil dilantik sebagai Sultan Ternate menggantikan Tabariji. Di tahun yang sama, de Ataide menyerang Jailolo yang bersekutu dengan Spanyol. Namun, pasukannya dapat dipukul mundur oleh rakyat Jailolo yang marah dan menuntut agar menobatkan Deyalo kembali sebagai pemimpin Ternate. Rakyat yang marah melampiaskannya dengan menyerbu Ternate, Tidore, Moti, Makian, Kasiruta, hingga Bacan. Konon, seluruh Kota Ternate dibakar habis, kemudian ditinggalkan begitu saja.
  • 1536 - Antonio Galvao dilantik sebagai Gubernur Portugis ketujuh. Dibawah pimpinan Kolano Katarabumi, Kerajaan Jailolo menyerang dan menaklukkan Kerajaan Moro yang menguasai kawasan Tobelo, Kao, dan Morotia di Halmahera Utara, serta Pulau Morotai.
  • 1538 - Erupsi Gunung Gamalama. Merupakan catatan pertama yang diketahui perihal letusan gunung berapi tersebut.
  • 1540 - Jorge de Castro menjadi Gubernur Portugis kedelapan. Benteng Portugis di Gamlamo ditinggalkan. Melalui bantuan dakwah ulama Ternate, Kerajaan Buol di Sulawesi Utara berevolusi menjadi negara Islam. Eato Mohammad Tahir dinobatkan sebagai penguasa Muslim pertama di kerajaan tersebut.
  • 1543 - Moro merdeka dari Jailolo.
  • 1545 - Gubernur Portugis melengserkan Sultan Khairun dan mengangkat kembali Tabariji (yang telah memeluk Kristen) sebagai Sultan Ternate. Tujuan pengangkatan kembali ini adalah untuk mensahkan janji Tabariji untuk menyerahkan kekuasaan Ternate di Maluku Tengah kepada Portugal. Namun, dalam perjalanan ke Ternate dari Goa, Tabariji wafat kala singgah di Malaka dan dimakamkan di sana.
  • 1546 - Sultan Khairun dilantik kembali. Franciscus Xaverius tiba di Maluku, mengunjungi Ambon, Ternate, dan Morotai.
  • 1551 - Jatuhnya Jailolo. Portugal dan Ternate menggempur Kerajaan Jailolo. Negeri itu takluk setelah blokade dan pengepungan selama 3 bulan oleh armada Portugis-Ternate. Kolano Katarabumi menyerah dan bersedia menjadikan Jailolo sebagai vasal Ternate.
  • 1558 - Portugal menyerahkan kembali kekuasaan Ternate di Maluku Tengah. Sultan Khairun melantik Kimalaha Laulata sebagai Salahakan di Huamual. Dalam perkembangannya, Laulata beberapa kali melancarkan penjarahan terhadap kekuasaan Portugis di Ambon.
  • 1559 - Melalui bantuan Kimalaha Laulata, Hitu merebut sebagian besar Kepulauan Ambon (kecuali Ambon itu sendiri) dari penguasaan Portugal.
  • 1563 - Ternate melancarkan ekspedisi militer ke Filipina. Armada juanga Ternate berhasil menaklukkan Kerajaan Butuan di Mindanao dan Dapitan di Bohol. Serangan Ternate menghancurkan Kerajaan Dapitan, memaksa penguasanya, Datu Pagbuaya, mengungsi ke Mindanao dan mendirikan sebuah negeri baru dengan nama yang sama di bagian utara pulau tersebut. Kedua negeri itu pun menjadi bawahan Ternate, dan secara tidak langsung turut jatuh ke tangan Portugis. Armada ini juga menyerang Kerajaan Sugbu di Cebu, meski gagal menaklukkannya. Sebelumnya, armada Ternate juga telah menundukkan Kerajaan Rimpulaeng yang menguasai Kepulauan Sangihe serta Sarangani dan Dabaw (Davao). Vasalnya, Kerajaan Porodisa di Talaud juga turut jatuh ke dalam pengaruh Ternate.
  • 1564 - Portugal merebut kembali kekuasaan Ternate di Maluku Tengah.
  • 1565 - Di Filipina, armada Spanyol pimpinan Miguel Lopez de Legazpi menaklukkan Sugbu. Ini menandakan dimulainya masa penjajahan Spanyol di Filipina. Sebelumnya, de Legazpi dan pasukannya telah menjalin aliansi dengan penguasa Bohol terakhir, Datu Sikatuna (yang masih merupakan bawahan Ternate). Pulau Cebu kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Spanyol pertama di Filipina, dengan de Legazpi sebagai Gubernur Jenderal pertamanya.
  • 1566 - Bohol lepas dari Ternate dan jatuh ke tangan Spanyol, setelah Sikatuna dan pengikutnya mengambil sumpah setia pada de Legazpi. Kelak, pasukan Visaya dari Bohol dan sekitarnya akan turut berjasa dalam kampanye penaklukan Spanyol terhadap Maluku, beberapa dekade ke depan. Diego Lopez de Mesquita menjadi Gubernur Jenderal Portugis.
  • 1569 - Pembunuhan Sultan Khairun. Gubernur de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke benteng Kastela dalam rangka mengadakan perjanjian damai untuk mengakhiri konflik bersenjata di Moro. Sultan Khairun menyambutnya dengan senang hati dan datang sendiri dengan diiringi oleh segelintir pengawal pribadinya. Namun, tepat setelah kedua pemimpin tersebut mengucapkan sumpah perdamaian dengan kitab suci masing-masing, Sultan Khairun ditikam dari belakang oleh seorang Portugis atas perintah Gubernur de Mesquita. Seluruh pengawal pribadinya juga dibunuh saat itu juga. Jenazah Sultan Khairun kemudian ditenggelamkan ke laut. Portugis berharap dengan tewasnya sang Sultan, Ternate akan semakin lemah dan semakin mudah dikendalikan.
Masa pemerintahan Baabullah Datu Syah (1570-1583):


  • 1570 - Sultan Baabullah Datu Syah naik tahta. Didasarkan atas keinginan untuk membalas kematian ayahnya, Baabullah bersumpah untuk mengusir orang-orang Portugis dari seluruh Maluku. Baabullah Datu Syah adalah Sultan terbesar Ternate yang berhasil memerdekakan negaranya dari hegemoni bangsa Portugis dan bahkan sukses mengusir mereka sepenuhnya dari kawasan Maluku Utara, kemudian berhasil membawa Kesultanan Ternate ke puncak kejayaannya. Tepat setelah pelantikannya sebagai Sultan, Baabullah langsung mengepung benteng Kastela, mencegah orang-orang Portugis yang ada disana untuk keluar dan mencari bantuan. Blokade ini terus dilakukan hingga lima tahun kemudian.
  • 1574 - Ternate menaklukkan Kerajaan Moro dan menganeksasi Loloda.
  • 1575 - Blokade benteng Kastela berakhir. Sisa-sisa orang Portugis yang masih hidup akhirnya keluar dan menyerahkan diri. Mereka diperbolehkan untuk berlayar ke Ambon, sementara sisanya memilih untuk memeluk Islam. Dengan ini, penjajahan Portugal terhadap Ternate telah sepenuhnya berakhir. Sultan Baabullah kemudian menjadikan benteng Kastela sebagai tempat kediamannya. Di tahun yang sama, armada juanga Ternate sukses menaklukkan kembali Sula.
  • 1576 - Ternate menaklukkan Buru dan Seram Barat, mengusir orang-orang Portugis dari sana. Kerajaan Siau menyerang Rimpulaeng. Dalam pertempuran, penguasa Rimpulaeng Don Makaampo tewas terbunuh oleh pasukan Siau. Putranya, Wuatangsemba mendirikan kerajaan baru bernama Tabukan dan bersedia tunduk pada Siau. Sangihe, Talaud, Sarangani, dan Davao pun berganti jatuh ke tangan Siau.
  • 1577 - Ternate mulai memblokade dan menggempur Kasiruta, pusat pemerintahan Kesultanan Bacan.
  • 1578 - Ternate mulai melancarkan ekspansi ke Sulawesi. Berturut-turut Manado, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Buol, dan negeri-negeri di Sulawesi Utara tunduk dan takluk menjadi vasalnya.
  • 1579 - Ternate berturut-turut menaklukkan Parigi, Sausu, Poso, dan Una-Una, menjadikannya sebagai penguasa teluk Tomini dan Poso. Armada juanga Ternate juga merebut Toli-Toli, Tawaeli, Donggala, dan Sigi. Sementara itu, sebuah armada Inggris pimpinan Sir Francis Drake datang berkunjung ke Ternate dan disambut langsung oleh Sultan Baabullah. Keduanya menjalin hubungan baik, bahkan sang Sultan menitipkan pesan untuk Ratu Inggris kepada Drake bahwa Kesultanan Ternate ingin menjalin persahabatan dengan Kerajaan Inggris.
  • 1580 - Puncak ekspansi Ternate. Bacan akhirnya takluk setelah blokade dan gempuran selama 3 tahun. Negeri itu, bersama seluruh vasalnya yang ada di Halmahera (Gane), Seram, dan Papua Barat (Raja Ampat) serta Pulau Obi dan Makian, pun menjadi vasal Ternate. Armada juanga Ternate juga sukses menundukkan Siau dan bawahannya, Tabukan di Sangihe. Sultan Baabullah mendirikan tiga kerajaan bawahan yang lepas dari Tabukan di pulau itu, yakni Kendahe (Kandhar), Tahuna, dan Manganitu. Tabukan menguasai Talaud, sementara Kendahe menguasai Sarangani di Mindanao Selatan. Armada kora-kora lain pimpinan Kapita Kapalaya dari Sula menaklukkan Bungku dan Selayar, serta merebut Tiworo, Wakatobi, dan Kulisusu (Buton Utara). Armada ini kemudian lanjut menggempur Buton, namun mendapat perlawanan sengit. Perang pun tak dapat dihindari. Satu armada lain pimpinan Adi Cokro, seorang Jawa yang mengabdi pada Ternate sebagai panglima laut, berhasil menaklukkan Banggai. Negeri-negeri kecil di sana pun dilebur menjadi satu. Oleh para tomundo, Adi Cokro diangkat sebagai pemimpin pertama Kerajaan Banggai yang bersatu (sebagai bawahan Ternate) dengan gelar Mbumbu doi Jawa. Ia melancarkan ekspansi wilayah ke pulau Sulawesi, menaklukkan daerah dari Tompotika di timur hingga Tojo di barat. Ia juga mendirikan Basalo Sangkap, badan penasihat kerajaan yang terdiri dari para tomundo.
  • 1581 - Perang Ternate-Buton berakhir dengan kekalahan Buton dan dianeksasinya negeri itu ke dalam kekuasaan Ternate. Dengan takluknya Buton, maka berakhirlah ekspedisi penaklukan Ternate di Sulawesi. Sultan Baabullah kemudian mendapatkan gelar terhormat 'Penguasa 72 Pulau' karena ia berhasil menguasai puluhan pulau yang terbentang dari Sulawesi, Mindanao, Halmahera, Seram, Flores, dan pulau-pulau di sekitarnya.
  • 1582 - Di Mindanao, Kesultanan Maguindanao dibawah Datu Dimansankay menyerang Butuan dan sukses merebut kawasan selatan negeri tersebut.
Masa pemerintahan Saiduddin Barakati (1583-1606):


  • 1583 - Sultan Baabullah wafat. Ia digantikan oleh putranya, Saiduddin Barakati, yang naik tahta dengan gelar Sultan Saidi. Sebelumnya, Sultan Baabullah telah mengunjungi Makassar, memperingatkan Karaeng Bontolangkasa namun akhirnya memilih untuk menjalin hubungan baik dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Sultan Baabullah juga menyerahkan kembali Selayar kepada Gowa-Tallo.
  • 1585 - Ternate menaklukkan Maguindanao. Sultan Saidi melantik Jogugu Salikula sebagai penguasa bawahan di negeri tersebut. Di tahun yang sama, pemerintahan kolonial Spanyol di Manila mengirim armada pimpinan Don Juan Marones untuk menggempur Ternate. Namun, saat tiba di lepas pantai Tidore, angin topan menenggelamkan sebagian besar kapal armada tersebut. Armada yang tersisa mendarat di Tidore dan disambut oleh Kaicil Tolo (pangeran Ternate yang ingin melengserkan Sultan Saidi) serta Sultan Tidore dan Bacan. Armada gabungan ini memutuskan untuk tetap menyerang Ternate, yang berakhir dengan kegagalan dan memaksa Laksamana Morenos untuk mundur kembali ke Manila.
  • 1588 - Kunjungan ekspedisi dagang Belanda pertama di Ternate pimpinan Jacob Corneliszoon van Neck. Sang laksamana datang menemui Sultan Saidi untuk bernegosiasi dagang ,dan berhasil pulang dengan membawa cengkih yang ditukar dengan senjata.
  • 1593 - Spanyol kembali mengirim armada untuk menyerang Ternate. Kali ini dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal di Manila, Das Marinas. Ia turut didampingi oleh sejumlah bangsawan Filipina dari Visaya serta 1000 prajurit Spanyol dan 1000 prajurit Tagalog-Visaya. Namun, saat keberangkatannya, orang-orang Cina yang menjadi pendayung kapal membunuh Das Marinas dan membawa armada tersebut ke pesisir pantai Tonkin di Vietnam, sebelum akhirnya kembali ke Manila beberapa waktu kemudian.
  • 1597 - Kapita Laut Buisan dilantik sebagai penguasa Maguindanao dibawah pengaruh Ternate.
  • 1599 - Ekspedisi dagang Belanda kembali mengunjungi Ternate. Kali ini dibawah pimpinan Wijbrand van Warwijk dan Jacob Heemskerk. Armada ini disambut langsung oleh Sultan Saidi, yang datang menghampiri mereka dengan sejumlah juanga yang berbaris melingkari kapal-kapal Belanda tersebut. Para pedagang Belanda menukar sejumlah pucuk senjata dengan dua setengah pikul rempah-rempah dari Sultan Saidi.
  • 1602 - Kerajaan Belanda meresmikan berdirinya kompeni VOC.
  • 1604 - Kunjungan armada EIC Inggris pimpinan Sir Henry Middleton ke Maluku.
  • 1605 - Kompeni VOC tiba di Maluku dan menjalin hubungan diplomatik dengan Ternate, serta merebut kekuasaan Portugis di Ambon.
  • 1606 - Jatuhnya Kota Ternate. Beraliansi dengan Tidore, Spanyol dan Portugal (yang kala itu bergabung dalam sebuah Kekaisaran bersatu bernama Uni Iberia) menggempur Ternate. Armada besar pimpinan Juan de Esquivel ini berhasil menaklukkan ibukota kesultanan itu serta menangkap Sultan Saidi dan keluarganya, mendeportasi mereka ke Manila. Kendali pemerintahan Ternate kemudian dipegang oleh Jogugu Hidayat Suki dari klan Tomagola, mewakili putra mahkota, Mudaffar, yang masih dibawah umur. Masa jaya Ternate pun berakhir. Sebagian besar negeri bawahannya secara tidak langsung turut jatuh ke dalam pengaruh Spanyol-Portugal, sementara negara Ternate itu sendiri menjadi vasal Uni Iberia. Luwu dan Makassar, kemungkinan besar memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut kembali kekuasaan mereka yang sebelumnya telah diambil oleh Ternate. Maguindanao memerdekakan diri, sementara Bacan lepas menjadi bawahan langsung Spanyol.
Masa pemerintahan Mudaffar (1606-1627):


  • 1607 - Spanyol mendirikan benteng di Gamlamo. Sultan Saidi mengutus Kapita Laut Ali, seorang pemuda petinggi Ternate untuk menemui orang-orang Belanda di Banten, dalam rangka mengajak untuk membentuk koalisi melawan Spanyol-Portugal. Sultan Hurudji mendirikan Kerajaan Boalemo di Gorontalo sebagai bawahan Ternate.
  • 1608 - Kompeni Belanda VOC bersedia untuk membentuk aliansi dengan Ternate. Aliansi ini kemudian melancarkan serangan pertamanya, yakni ke pulau Makian yang kala itu dibawah pengawasan langsung Spanyol. Namun, mereka segera mundur setelah sang pemimpin penyerangan, Paulus van Carden, tertangkap oleh Spanyol dan ditawan di benteng Spanyol di Gamlamo. Erupsi Gamalama.
  • 1609 - Aliansi VOC-Ternate menyerang Tidore dan Bacan. Mereka sukses menaklukkan Bacan, tetapi terkalahkan di Tidore.
  • 1610 - Mudaffar resmi dilantik sebagai Sultan Ternate. Spanyol menyerang Bacan sebagai usaha untuk merebut kembali hegemoni mereka di negeri tersebut, namun berhasil dihalau oleh pasukan koalisi Ternate-VOC-Bacan yang berjaga di sana. Di tahun yang sama, koalisi ini juga akhirnya berhasil merebut Makian. VOC menjadikan Ambon sebagai pusat pemerintahannya.
  • 1611 - Spanyol menaklukkan Jailolo dan menjadikannya vasal dibawah pengawasan Gubernur Spanyol di Manila.
  • 1612 - Pieter Both dilantik sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama di Nusantara, yang berkedudukan di Ternate.
  • 1619 - Jan Pieterszoon Coen (J.P. Coen) dilantik sebagai Gubernur Jenderal VOC kedua. Pusat administrasi VOC dipindah dari Ternate ke Batavia.
  • 1620 - Ternate menaklukkan kembali Jailolo.
  • 1621 - Kesultanan Makassar Gowa-Tallo dari Sulawesi Selatan menggempur Buton dan berhasil merebutnya dari Ternate.
  • 1625 - Kesultanan Maguindanao dibawah pimpinan Sultan Muhammad Dipatuan Kudarat menaklukkan Davao, Sarangani, Sangihe, dan Talaud, menghapus hegemoni Ternate di kelima daerah tersebut. Meskipun dua wilayah terakhir kelak dapat direbut kembali dengan bantuan Belanda kala Maguindanao mengalami kemunduran.
  • 1626 - Makassar merebut Banggai dan Bungku dari Ternate.
Masa pemerintahan Hamzah (1627-1648):


  • 1627 - Sultan Hamzah (Don Pedro da Cunha) naik tahta. Ia mengadakan ekspedisi ke wilayah dan vasal Ternate di seberang laut yang mulai membangkang otoritasnya. Ekspedisi ini dipimpin oleh Kapita Laut Ali, dan memiliki kekuatan 27-30 juanga berisi 1500 infantri. Ali dan armadanya mula-mula menuju Sula, lalu ke Huamual dan Seram, hingga akhirnya sampai di Kepulauan Ambon. Di Leitimor, ia menemui para pejabat VOC setempat.
  • 1629 - Ekspedisi Kapita Laut Ali bertolak ke pesisir timur Sulawesi, setelah sebelumnya mampir di Manipa dan Buru. Di wilayah ini, dua kerajaan vasal Ternate (Banggai dan Bungku) telah direbut oleh Makassar. Ali dan armadanya pun menyerang kedua negeri ini, memerangi orang-orang Makassar yang ada di sana. Banggai dan Bungku akhirnya berhasil direbut pada tahun ini juga.
  • 1631 - Ekspedisi Kapita Laut Ali bertolak ke Buton. Sama dengan dua kerajaan sebelumnya, Kesultanan Buton juga telah jatuh ke dalam kekuasaan Makassar. Pengaruh Ternate di negara ini telah hampir sepenuhnya lenyap. Karenanya, Ali dan armadanya cukup kesulitan dalam usaha untuk menaklukkan kembali Buton. Sepanjang tahun ini, Ali menghabiskan sebagian besar waktunya berperang di Buton. Saat akhirnya negeri itu berhasil tunduk pada akhir tahun, Ali memutuskan untuk menetap di sana.
  • 1632 - Kapita Laut Ali wafat di Buton, kemungkinan tewas diracun oleh Raja Gowa. Kematiannya diiringi dengan terlepasnya kembali Banggai, Bungku, dan Buton yang telah susah payah ia taklukkan.
  • 1633 - Perlawanan Kapita Kakiali dari Hitu terhadap pemerintahan VOC di Ambon. 
  • 1634 - Makassar berturut-turut merebut Tomini (Parigi, Sausu, dan Una-Una), Gorontalo, Boalemo, Buol, Toli-Toli, Bulango, dan Sula.
  • 1635 - Makassar menundukkan Bolaang Mongondow, Manado, dan Siau. Penaklukan ini melenyapkan hegemoni Ternate di Sulawesi, dan menandakan bangkitnya Makassar sebagai kekuatan baru menggantikannya. Erupsi Gamalama.
  • 1636 - Antonio van Diemen dilantik sebagai Gubernur Jenderal VOC di Ambon.
  • 1640 - Makassar memulai ekspansi ke wilayah kekuasaan Ternate di Maluku. Pasukan Makassar berturut-turut menaklukkan Buru dan Obi.
  • 1641 - Pemberontakan Huamual-Hitu (Perang Hitu). Seorang pemimpin daerah di Huamual, Salahakan Luhu memberontak pada Ternate dan menyerang pos-pos VOC yang ada di Maluku Tengah. Ia didukung oleh Kapita Kakiali, serta Kerajaan Makassar yang juga tengah mengincar Maluku Tengah sebagai tujuan penaklukannya. Suatu pasukan berjumlah 1200 orang Makassar (bersama pasukan tambahan dari Huamual dan Hitu) dibawah pimpinan Salahakan Luhu pun berhasil menaklukkan seluruh Seram Barat dan Huamual di tahun ini juga.
  • 1643 - Salahakan Luhu dan keluarganya ditangkap oleh VOC. Atas perintah Sultan Hamzah, mereka dinyatakan bersalah karena mencetuskan dan memimpin pemberontakan. Luhu dan keluarganya pun dieksekusi dengan dihukum gantung sampai mati di depan benteng VOC Victoria, disaksikan oleh penduduk Ambon. Perjuangan Luhu dilanjutkan oleh Kapita Kakiali dan Tulukabessy, beserta pendukung utamanya, Kesultanan Gowa-Tallo. Sementara itu, Sultan Hamzah melantik Majira Tomagola sebagai salahakan baru untuk wilayah Maluku Tengah.
  • 1644 - Sultan Hamzah menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal van Diemen, yang berisi penyerahan kekuasaan Ternate di Kepulauan Ambon dan Hitu kepada Kompeni VOC. Sebagai balasan, VOC membayar uang berjumlah 73.000 gulden kepada Ternate, dengan rincian 56.875 gulden untuk Sultan pribadi, dan sisanya untuk kas kerajaan. Namun, pelaksanaan perjanjian ini baru diadakan dua tahun kemudian.
  • 1645 - Pasukan Huamual-Hitu pimpinan Kapita Kakiali dan Tulukabessy bersama armada Makassar menaklukkan Hitu dan hampir seluruh Kepulauan Ambon.
  • 1646 - Perang Hitu berakhir. Ternate mendapatkan kembali kekuasaannya di Maluku Tengah setelah pasukan pemberontak Huamual-Hitu dan armada Makassar di sana disapu bersih oleh armada VOC. Kapita Kakiali terbunuh, sementara Tulukabessy tertangkap dan dieksekusi. Atas jasa ini, Ternate menghadiahkan sebagian besar kekuasaannya tersebut kepada VOC. Perjanjian dua tahun sebelumnya pun dilaksanakan.
Masa pemerintahan Mandar Syah (1648-1675):


  • 1648 - Sultan Hamzah wafat. Sultan Mandar Syah naik tahta.
  • 1650 - Sultan Mandar Syah dikudeta oleh sejumlah petinggi istana dari keluarga Fala Raha (Tomagola, Tomaito, Marsaoli) yang tak menyukainya. Mereka kemudian mendudukkan Kaicil Manilha, adik Mandar Syah ke atas singgasana Ternate. Sementara itu, Mandar Syah yang tersingkir mengungsi ke Benteng Oranje dan meminta bantuan VOC untuk merebut kembali tahtanya dari Sultan Manilha.
  • 1651 - Pemberontakan Salahakan Majira.
  • 1652 - Kebijakan Hongi Tochten ditandatangani di Batavia oleh Gubernur Jenderal VOC dengan Sultan Mandar Syah (yang masih tersingkir dari Ternate). Ekspedisi eradikasi pohon cengkih di seluruh Maluku pun dimulai. Kapita Laut Saidi memimpin ekspedisi terakhir ke Buton untuk merebut kembali hegemoni Ternate di kesultanan tersebut. Namun, armada Ternate dapat dikalahkan oleh pasukan Buton yang dibantu oleh atasannya, Makassar. Saidi dan pasukannya pun terpaksa mundur. Ini sekaligus menandakan berakhirnya pengaruh Ternate atas Buton. Kaicil Kalamata diangkat sebagai Raja Jailolo bawahan Ternate. Namun, baru sekitar 2 bulan memerintah ia keburu wafat. Sementara pewaris tahta, Kaicil Alam masih belia sehingga ditempatkan di keraton Ternate untuk dipersiapkan menjadi Raja Jailolo berikutnya. Namun, pada kenyataannya ia tak pernah dilantik bahkan hingga ia telah dewasa sekalipun.
  • 1653 - VOC menggempur istana Ternate, sebagai usaha untuk merebut tahta dari Sultan Manilha dan mengembalikannya kepada Mandar Syah. Erupsi Gamalama.
  • 1655 - Mandar Syah diangkat kembali sebagai Sultan Ternate, setelah VOC berhasil memasuki istana Ternate. Para penentangnya ditangkap dan dibunuh, termasuk Sultan Manilha. Pemberontakan Kapita Laut Saidi. Bekerjasama dengan orang Tidore, Kapita Laut Saidi yang tak setuju dengan kebijakan Hongi Tochten melancarkan pemberontakan melawan Sultan Mandar Syah dan VOC. Ia dan pasukannya menyerang pos-pos VOC di pulau-pulau antara Huamual dan Buru, terutama Asahudi dan Kelang. Namun, dalam beberapa bulan pemberontakan ini dapat ditumpas. Saidi dan keluarganya berhasil ditangkap. 
  • 1656 - Pemberontakan Salahakan Majira berakhir. Sang Salahakan ditangkap di Makassar setelah diadakan perjanjian antara VOC-Ternate dengan Gowa-Tallo. Ia kemudian dieksekusi setahun kemudian.
  • 1660 - Perang Makassar dimulai. Kesultanan Ternate turut berkontribusi dengan beraliansi dengan VOC dan Bone melawan Makassar dan sekutunya.
  • 1663 - Ternate kembali merdeka. Spanyol menarik pasukannya dari Maluku Utara, melepaskan Ternate dan Tidore (serta seluruh negara jajahan mereka) menjadi negara merdeka kembali.
  • 1667 - Perjanjian Bungaya. Kesultanan Gowa-Tallo yang semakin terdesak bersedia untuk menandatangani perjanjian dengan pihak VOC-Bone. Di antara isi perjanjian tersebut adalah Makassar harus 'mengembalikan kekuasaannya di Sulawesi Timur kepada Kesultanan Ternate'.
  • 1669 - Perang Makassar berakhir.
  • 1672 - Daerah taklukan Kesultanan Bacan di Seram dianeksasi oleh Gubernur VOC di Ambon atas permintaan penduduk setempat.
Masa pemerintahan Sibori Amsterdam dan Toloko Rotterdam (1675-1714):


  • 1675 - Sultan Mandar Syah wafat. Putra sulungnya, Sibori Amsterdam (Muhammad Nurul Islam) naik tahta menggantikannya.
  • 1676 - Melalui bantuan VOC, Ternate mengadakan ekspedisi ke Sulawesi Utara untuk memulihkan kembali hegemoninya di sana. Negeri-negeri Gorontalo, Buol, dan Parigi berhasil ditaklukkan kembali. Sementara Sultan Sibori sendiri memimpin langsung ekspedisi penaklukan ke Siau, Sangihe, dan Talaud, yang juga berhasil dengan sukses. Namun, di tahun yang sama, Sultan Sibori menandatangani perjanjian yang berisi penyerahan kekuasaan Ternate di Maluku Tengah kepada VOC.
  • 1680 - Sultan Sibori memutus aliansinya dengan VOC, kemudian mengirim utusannya, Pati Lima dari Seram, ke Ambon untuk menyampaikan surat kepada seluruh umat Muslim di kepulauan tersebut. Surat itu berisi seruan untuk menyerang dan membunuh seluruh orang Belanda di Ambon, kecuali mereka yang bersedia menyerahkan diri. Pati Lima pun segera berlayar ke selatan dan menemui Hasan Sulaiman, salah satu ulama berpengaruh di Maluku Tengah kala itu. Namun, tak lama kemudian mereka ditangkap oleh serdadu Belanda yang menerima laporan dari mata-mata mereka. Pati Lima pun dihukum mati, setelah mengakui bahwa misinya adalah membunuh orang Belanda atas perintah Sultan Sibori. 
  • 1681 - Perang Ternate-VOC. Gubernur Jenderal VOC, Roberts Padtbrugge, mengirim pasukan ke Ternate untuk menangkap Sultan Sibori. Selama beberapa hari, terjadi pertempuran sengit antara pasukan VOC melawan rakyat Ternate yang mencegah mereka untuk memasuki istana kediaman Sultan. Pada hari kedua pendaratan pasukan Belanda, rakyat Ternate dapat bertahan dan memukul mundur mereka. Keesokan harinya, Sultan dan keluarga serta pengawal pribadinya (orang Alifuru), memutuskan untuk mengungsi ke Jailolo. Di hari yang sama, pasukan Belanda berhasil menduduki istana dan menangkap sejumlah bobato dan bangsawan Ternate yang tertinggal. Di Jailolo, Sultan Sibori menulis surat yang berisi permintaan bantuan keuangan kepada Sultan Mindanao, Abdurrahman. Namun, ia tak kunjung mendapat balasan sehingga membuat sang Sultan dan rombongannya semakin kekurangan logistik dan biaya. Akhirnya, Sultan Sibori ditangkap oleh Belanda atas bantuan sejumlah pengikutnya yang berkhianat. Ia kemudian segera dibawa ke Batavia untuk diadili. Di tahun yang sama, Kerajaan Bolaang Mongondow (vasal Ternate di Tanah Minahasa) pimpinan Datu Binangkang menyerang kedudukan VOC di Manado.
  • 1682 - VOC memukul mundur Datu Binangkang dan pasukannya dari Manado, kemudian membalas dengan lanjut menggempur dan membumihanguskan Solimandungan, ibukota Bolaang Mongondow.
  • 1683 - Ternate resmi menjadi vasal Kompeni VOC, setelah Sultan Sibori menandatangani suatu perjanjian dengan Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Vasal-vasalnya di Sulawesi Timur (Banggai, Bungku, Tojo, dan Una-Una) dan Utara (Atinggola, Suwawa, Bintauna, Kaidipang, Bulango, Limboto, Boalemo, dan Gorontalo) pun secara tak langsung turut jatuh ke tangan VOC. Sementara Bacan, Bolaang Mongondow, Buol, dan Parigi berhasil melepaskan diri kembali dari hegemoni Ternate.
  • 1684 - Kaicil Alam, pewaris tahta Kerajaan Jailolo, wafat di Ternate. Bersama kematiannya, berakhir pula riwayat Jailolo sebagai sebuah negara.
  • 1689 - Sultan Sibori wafat. Singgasana Ternate lowong hingga 3 tahun berikutnya. Pemerintahan Ternate dikendalikan oleh dua orang pangeran, Kaicil Toloko dan Kaicil Melayu.
  • 1692 - Sultan Toloko Rotterdam (Said Fathullah), adik Sibori naik tahta. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate menikmati masa yang aman dan damai. Ia melakukan konsolidasi terhadap seluruh wilayah Ternate untuk meningkatkan stabilitas negara tersebut.
  • 1707 - Atas permintaan Sultan Bacan, VOC mengembalikan kekuasaan negeri tersebut di Seram bagian utara.
Masa pemerintahan Raja Laut (1714-1744):


  • 1714 - Sultan Raja Laut (Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin) naik tahta.
  • 1716 - Pemberontakan Halmahera Timur. Rakyat Tidore di Halmahera Timur atau Gamrange (Maba, Patani, Gebe, dan Weda) yang merasa terbebani dengan pungutan upeti Sultan Tidore, ingin membelot pada Ternate. Para sangaji daerah-daerah tersebut berlayar ke Ternate untuk menemui Sultan Raja Laut, dan menyampaikan kehendak rakyat mereka. Sultan Raja Laut menerima kehendak mereka dan menganugerahkan hadiah sebagai lambang janji kepada para sangaji. Dua tahun kemudian, Halmahera Timur benar-benar memberontak melawan Tidore.
  • 1718 - Gamrange telah sepenuhnya memberontak dari Tidore dan penduduknya menyatakan bahwa mereka kini merupakan bagian dari Kesultanan Ternate.
  • 1720 - Menyusul Gamrange, penduduk Raja Ampat turut memberontak melawan Tidore dan berpindah haluan ke Ternate. Karena hal ini, Gubernur VOC di Maluku memutuskan untuk mengadakan pertemuan antara Sultan Ternate (Raja Laut) dengan Sultan Tidore (Hasanuddin), yang menghasilkan persetujuan bahwa Ternate bersedia mengembalikan Halmahera Timur kepada Tidore dan VOC akan membantu Tidore untuk memburu dan menumpas kaum pemberontak.
  • 1722 - Pemberontakan Halmahera Timur berhasil dipadamkan. Seluruh wilayah Tidore yang membelot pada Ternate berhasil dipulihkan kembali oleh aliansi VOC-Tidore. Ternate dan Tidore kemudian menandatangani perjanjian perdamaian bahwa kedua negara sepakat untuk mencegah rakyatnya beralih status dari satu kerajaan ke kerajaan lain, dan Kompeni VOC diberi wewenang untuk mengadili dan menghukum siapapun yang melawan.
  • 1737 - Erupsi Gamalama. Merupakan salah satu letusan terdahsyat yang diketahui dari gunung berapi ini.
  • 1741 - Penguasa Banggai dan Bungku mulai mengadakan pertemuan rahasia untuk merencanakan pemberontakan melawan kekuasaan Ternate dan VOC.
  • 1742 - Pemberontakan Makian. Bobato dan rakyat Makian, yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Sultan Raja Laut, membelot ke Tidore.
  • 1744 - Sultan Raja Laut memecat dan mencopot jabatan pemerintahan dari keluarga Tomagola dan Tomaito, dua klan Maluku paling berpengaruh dalam pemerintahan Ternate hingga saat itu. Akibatnya, jabatan Jogugu, Hukum Soasio, dan Kimalaha Marsaoli lowong karena dibiarkan tak diisi oleh Sultan Raja Laut.
Masa pemerintahan Ayan Syah, Syahmardan, Jalaluddin, dan Harun Syah (1751-1780):


  • 1751 - Sultan Ayan Syah (Oudhoorn) naik tahta.
  • 1752 - Pemberontakan Makian berhasil dipadamkan, setelah Sultan Ayan Syah mengadakan pertemuan dengan para bobato Makian dan menyatakan penyesalan atas ketidakadilan yang dirasakan mereka selama ini. Ia berjanji akan lebih memperhatikan kondisi Makian. Pernyataan ini pun membuat para bobato kembali berikrar setia kepada Ternate.
  • 1754 - Sultan Ayan Syah wafat. Adiknya, Kaicil Syahmardan (Zwammerdam) naik tahta menggantikannya dengan gelar Sultan Amir Iskandar Muda. Sejak masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate tak lagi memainkan pengaruh besar dalam percaturan politik Indonesia Timur akibat tekanan dan pengaruh Kompeni VOC yang semakin menguat.
  • 1763 - Sultan Jalaluddin (Zwardekroon) naik tahta.
  • 1770 - Raja Pilewiti, seorang bangsawan Kaili Sausu mendirikan Kerajaan Tojo. Kekuasaannya terbentang dari Pandiri di Poso hingga Ulubongka di Tojo Una-Una, dan mungkin termasuk pula Kepulauan Una-Una. Kerajaan ini berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dari Ternate, meski tetap menjadi vasal VOC.
  • 1775 - Erupsi Gamalama. Menewaskan sekitar 140 orang dan melenyapkan sebuah desa, yang berubah menjadi dua buah danau, Tolire Jaha dan Tolire Kecil.
  • 1777 - Sultan Harun Syah naik tahta.
Masa pemerintahan Ahral dan Muhammad Yasin (1780-1807):


  • 1780 - Sultan Ahral (Jou Pulang Gapi) naik tahta.
  • 1781 - Pemberontakan Nuku. Kaicil Nuku, pangeran Tidore yang tersingkir dari istana memberontak melawan Belanda dan Tidore. Ia menaklukkan Makian, Kayoa, Gane, dan Obi, serta menyerang Bacan yang kemudian menjadi sekutunya.
  • 1783 - Revolusi Tidore. Sultan Tidore bawahan VOC, Patra Alam, mengirim sejumlah utusan ke Papua Barat untuk mendapatkan kembali loyalitas para penguasanya yang telah membelot pada Kaicil Nuku. Namun, para utusan justru turut berbalik memihak Nuku. Akibatnya, VOC menuduh Patra Alam bersekutu dengan Nuku. Ia pun ditangkap dan diasingkan. Hal ini membuat semakin banyak rakyat Tidore yang bersimpati dan mendukung Nuku, yang telah diangkat sebagai 'Sultan Papua dan Seram'.
  • 1787 - Kerajaan Kendahe di Sangihe menjual Kepulauan Sarangani di ujung selatan Mindanao kepada Kesultanan Maguindanao, melenyapkan hegemoni Ternate (dan Belanda) di Filipina.
  • 1796 - Sultan Sarkan naik tahta.
  • 1797 - Melalui bantuan Inggris, Sultan Nuku berhasil menaklukkan pulau Tidore, meraih salah satu ambisinya untuk mempersatukan seluruh Kesultanan Tidore. Ia juga menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo setelah merebut wilayah itu dari Ternate.
  • 1800 - Pembubaran Kompeni VOC. Seluruh koloni dan vasalnya kemudian diambil alih langsung oleh pemerintah Belanda saat itu, Republik Batavia yang merupakan vasal Kekaisaran Prancis.
  • 1801 - Sultan Muhammad Yasin naik tahta. Ternate ditaklukkan oleh Kompeni EIC Inggris, yang sedang bermusuhan dengan Prancis dan Belanda serta beraliansi dengan Tidore.
  • 1803 - Perang Napoleon pecah di Eropa. Pengaruhnya merembet hingga Nusantara termasuk Maluku, dimana Inggris berperang dengan Prancis-Belanda.
  • 1804 - EIC Inggris menyerahkan kembali wilayah yang didudukinya di Maluku kepada Belanda.
  • 1805 - Sultan Nuku wafat di Tidore.
  • 1806 - Armada Ternate-Belanda menyerang Tidore dan berhasil merebut benteng-bentengnya. Armada ini juga berhasil menduduki dan membumihanguskan Soasio, ibukota kesultanan tersebut. Namun penguasanya, Zainal Abidin berhasil lolos ke Halmahera Timur dan mendirikan pemerintahan darurat di sana.
Masa pemerintahan Muhammad Ali (1807-1824):


  • 1807 - Sultan Muhammad Ali (Sarmole/Guraka van der Parra) naik tahta. Bersama Belanda, ia memimpin penyerangan ke Halmahera Timur untuk memburu Sultan Tidore dan Raja Jailolo. Pasukan Ternate-Belanda sukses menduduki Oba dan Weda, serta merebut kembali Gane, Obi, Makian, dan Kayoa. Jatuhnya Weda memaksa Raja Jailolo mengungsi ke Maba, tempat dirinya wafat. Sebelumnya, pasukan Ternate-Belanda juga kembali membumihanguskan kota Soasio di pulau Tidore.
  • 1808 - Pasukan Ternate-Belanda menaklukkan Patani dan sisa kekuasaan Tidore di Halmahera Timur. Namun, Sultan Tidore berhasil lolos ke Waigeo di Raja Ampat dan menjadikannya sebagai pusat pertahanan terakhir Kesultanan Tidore.
  • 1810 - Sultan Tidore Zainal Abidin menyerah dan ditangkap oleh Belanda di Waigeo. Ini mengakhiri kampanye penaklukan Tidore oleh Ternate dan Belanda, yang berhasil dengan sukses. Kesultanan Tidore pun menjadi vasal Belanda. Namun, di tahun yang sama Ternate kembali ditaklukkan oleh Inggris setelah mereka berhasil mengalahkan armada Prancis-Belanda di Maluku dan Manado.
  • 1811 - Inggris menaklukkan Batavia, membuat seluruh koloni dan vasal Belanda di Nusantara turut jatuh ke tangan Inggris.
  • 1813 - Pembangunan istana baru Kesultanan Ternate oleh Sultan Muhammad Ali. Didesain oleh seorang arsitek Cina, istana baru ini didirikan di bukit Limau. Istana inilah yang hingga kini masih digunakan sebagai kediaman Sultan Ternate dan sejumlah keluarganya, dan kelak dijadikan sebuah museum bernama 'Museum Kedaton Sultan Ternate'.
  • 1815 - Perang Napoleon berakhir.
  • 1816 - Penyerahan kembali koloni Hindia Timur dari Inggris kepada Belanda. Belanda secara resmi kembali menjadi penguasa di Indonesia. Baron van der Capellen dilantik sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kesultanan Ternate pun kembali menjadi bawahan Belanda.
  • 1817 - Pemberontakan Pattimura (Perang Saparua). Bangsawan dan rakyat Saparua pimpinan Kapitan Pattimura, seorang bekas abdi Inggris, melancarkan pemberontakan melawan Belanda. Pattimura menggalang aliansi dengan sejumlah kerajaan di luar Maluku Tengah, termasuk Ternate. Namun, dalam beberapa bulan, perang ini berakhir dengan kekalahan kaum pemberontak dan dihukum mati-nya para pemimpin mereka, termasuk Pattimura.
Masa pemerintahan Muhammad Zain dan Muhammad Arsyad (1824-1876):


  • 1824 - Sultan Muhammad Zain naik tahta. Ia mengeluarkan sebuah Jaibn Kolano (Titah Sultan) perihal sejumlah tradisi dan kebiasaan masyarakat Ternate yang dinilai tak sesuai dengan syariat Islam. Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Tulilamo (Juru Tulis Kesultanan Ternate) Haji Abdul Habib, titah tersebut berisi perintah untuk menghapus beberapa bagian adat istana dalam upacara kematian sultan  yang bertentangan dengan hukum Islam.
  • 1826 - Pemberontakan Tobungku. Kerajaan Bungku memberontak melawan Ternate dan Belanda akibat pungutan upeti yang telah lama membebani rakyat negeri tersebut. Sultan Ternate mengirim armada berjumlah ribuan tentara pimpinan Kapita Laut Abu Muhammad untuk memadamkannya, namun mereka dapat dipukul mundur oleh pasukan Bungku. Ternate pun meminta bantuan Belanda, yang segera mengirim armada pimpinan Letnan G. Lockemeijer, yang sukses menundukkan para pemberontak Tobungku.
  • 1839 - Bungku kembali memberontak, namun dapat segera dipadamkan oleh Ternate.
  • 1840 - Bungku untuk ketiga kalinya kembali memberontak. Kali ini dimotori oleh seorang Daeng Makaka, seorang pangeran Bugis yang menobatkan dirinya sebagai penguasa Bungku pasca mengkudeta Bukungku, raja Bungku sebelumnya yang pro-Ternate. Namun, pemberontakan ini juga berakhir dengan kegagalan. Armada Ternate terlalu kuat untuk para pemberontak Tobungku. Sultan Ternate kemudian mengangkat kembali Bukungku sebagai penguasa Bungku, sementara Daeng Makaka berhasil meloloskan diri dan baru tertangkap 8 tahun kemudian. Erupsi Gamalama.
  • 1842 - Perang Tobelo. Menyusul Bungku, kali ini giliran Kerajaan Banggai yang melancarkan pemberontakan terhadap Ternate dan Belanda. Konflik fisik dan senjata pun mulai terjadi di jazirah Sulawesi Timur antara orang Banggai dengan orang Ternate.
  • 1846 - Pasukan Ternate di Banggai bersekutu dengan tiga armada bajak laut Tobelo (salah satu dari 3 kelompok perompak paling ditakuti di Nusantara kala itu, bersama dengan lanun Mindanao dan Iban) yang tengah singgah di negeri tersebut. Kedudukan laskar Banggai pun mulai terdesak akibat kehadiran para perompak Tobelo tersebut.
  • 1847 - Raja Laota dan pengikutnya tertangkap setelah terus dipukul mundur oleh armada Ternate-Tobelo. Kedudukannya pun digantikan oleh Raja Agama (Mbumbu doi Bugis) yang melanjutkan perjuangan pendahulunya untuk terus melancarkan perlawanan terhadap hegemoni Ternate dan Belanda. Melalui bantuan orang-orang Bugis, Raja Agama sukses mengusir kembali armada Ternate yang ada di Banggai. Perang pun masih terus berlanjut hingga 5 tahun kemudian.
  • 1852 - Perang Tobelo berakhir. Armada Kesultanan Ternate dan bajak laut Tobelo kembali berhasil memukul mundur laskar Banggai. Raja Agama berhasil meloloskan diri ke Tojo, lalu ke Bone, tempat dirinya wafat. Kerajaan Banggai pun kembali takluk pada Ternate. Tatu Tonga (Mbumbu doi Jere) kemudian dilantik sebagai penguasa Banggai yang baru di bawah pengaruh Ternate.
  • 1858 - Alfred Russel Wallace, seorang naturalis Inggris terkemuka, tiba di Ternate untuk melakukan studi zoologi, sebagai bagian dari suatu penelitian menyeluruh tentang keanekaragaman hayati di Nusantara. Di Ternate, ia menetap di sebuah rumah pinjaman pengusaha terkaya Belanda di Maluku Utara saat itu, Renesse van Duivenbode. Wallace juga menjadikan Ternate sebagai markas penelitiannya. Dari sini, ia berkali-kali bolak-balik ke seantero Indonesia Timur, yakni Maluku Tengah, Timor, Halmahera, Manado, dan Papua. Di tahun yang sama, Wallace menerbitkan 'Ternate Papers', sebuah makalah yang berisi sejumlah pandangannya terhadap zoologi berdasarkan penelitiannya di Nusantara.
  • 1859 - Atas permintaan Belanda, Ternate (dan Tidore) mengirim sejumlah pasukan Alifuru ke Seram untuk menumpas pemberontakan yang pecah di sana. Setelah sukses dalam misi mereka, para petinggi militer kedua kesultanan ini dianugerahi sejumlah hadiah dan uang dari Belanda atas jasa mereka tersebut. Di tahun yang sama, Sultan Ternate menjual kepulauan Obi kepada Belanda.
  • 1861 - Sultan Muhammad Arsyad (Azad) naik tahta.
  • 1862 - Alfred Russel Wallace kembali ke Inggris, setelah menyelesaikan studinya selama lebih dari 4 tahun di Nusantara. Ia berhasil mengumpulkan 12.500 spesimen berbagai spesies hewan untuk objek penelitiannya, yang mana banyak di antaranya merupakan spesies baru. Nantinya, seluruh catatan perjalanan dan studinya di Nusantara bakal dituturkannya dalam bukunya yang paling terkenal, 'The Malay Archipelago' yang terbit 7 tahun kemudian. Erupsi Gamalama.
  • 1876 - Ternate kembali memasuki fase interregnum.
Masa pemerintahan Ayanhar (1879-1900):


  • 1879 - Sultan Ayanhar naik tahta.
  • 1880 - Kerajaan Tabukan dan Manganitu di Sangihe menjadi bawahan langsung Belanda.
  • 1882 - Raja Haji Abdul Azis naik tahta di Banggai. Dibawahnya, Banggai kembali melancarkan perlawanan terhadap Hindia Belanda. Ia berhasil mengusir paksa para utusan dan pejabat Ternate dan Belanda dari Kerajaan Banggai, membuat Hindia Belanda kehilangan kontrol atas negeri tersebut. Kerajaan Banggai pun, untuk sementara, berhasil merdeka kembali menjadi negara mandiri.
  • 1889 - Kerajaan Siau, Limboto, Atinggola, Bintauna, Kaidipang, Gorontalo, Suwawa, Bulango, dan Boalemo menjadi bawahan langsung Belanda.
  • 1891 - Kerajaan Tahuna menjadi bawahan langsung Belanda.
  • 1893 - Kerajaan Arangkaa, Porodisa, dan Salibabu di Talaud menjadi bawahan langsung Belanda.
  • 1898 - Kerajaan Kendahe menjadi bawahan langsung Belanda.
Masa pemerintahan Muhammad Ilham Syah (1900-1902):


  • 1900 - Sultan Muhammad Ilham Syah naik tahta. Banggai kembali takluk pada Ternate dan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda dan Ternate mengadakan konspirasi terhadap Raja Haji Abdul Azis, yang memaksanya turun tahta dan merantau ke Mekkah, tempat dirinya wafat. Raja Haji Abdul Rahman kemudian dilantik sebagai penguasa Banggai yang baru dibawah pengaruh Ternate.
Masa pemerintahan Muhammad Usman Syah (1902-1914):


  • 1902 - Sultan Muhammad Usman Syah naik tahta.
  • 1907 - Sultan Usman Syah melepaskan seluruh vasalnya di Sulawesi (kecuali Tagulandang di Kepulauan Sitaro) dan kekuasaannya di Sula dan Gane. Daerah-daerah ini kemudian diambil alih dan diperintah langsung oleh Hindia Belanda.
  • 1908 - Erupsi Gamalama. Memakan korban kurang dari 100 jiwa.
  • 1909 - Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Plakat Pendek) dengan Belanda, yang menyebabkan status ketiganya turun dari vasal menjadi swapraja dalam pemerintahan Hindia Belanda.
  • 1914 - Pemberontakan Jailolo. Residen Belanda di Jailolo tewas dibunuh rakyat Jailolo yang memberontak dan mengamuk akibat kebijakan kerja rodi pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, Belanda segera menangkap Sultan Muhammad Usman Syah yang dituduh ikut terlibat, kemudian mengasingkannya ke Bacan dan akhirnya ke Bandung. Pasukan KNIL Belanda lalu segera menumpas pemberontakan Jailolo. Tahta Kesultanan Ternate pun lowong dan kendali pemerintahannya diambil alih oleh Residen dan Jogugu.
Masa pemerintahan Iskandar Muhammad Jabir Syah (1927-1975):


  • 1927 - Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah naik tahta. Tahta Ternate pun kembali diduduki oleh seorang Sultan.
  • 1930 - Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan 'Zelf Bestuur Regeling', yang menetapkan pembagian Maluku Utara ke dalam tiga swapraja: Ternate, Tidore, dan Bacan.
  • 1933 - Muhammad Usman Syah, ayah Sultan Jabir Syah dibebaskan dari pengasingan dan dipulangkan kembali ke Ternate.
  • 1939 - Perang Dunia II dimulai.
  • 1942 - Kekaisaran Jepang menaklukkan Hindia Belanda, termasuk seluruh Maluku Utara. Ternate kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan tentara Jepang atas wilayah Maluku. 
  • 1944 - Pasukan Sekutu dibawah Jenderal Douglas McArthur dari Amerika Serikat menaklukkan Morotai, merebutnya dari pendudukan Jepang. Di sini, pasukan Sekutu ditemui oleh sejumlah orang Ternate yang memohon agar Sultan Jabir Syah segera dijemput dari Ternate karena nyawanya terancam oleh Jepang. McArthur pun segera mengirim satuan tentara Australia dan Hupltroepen menuju Ternate. Sebelumnya, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di pengasingan, H.J. van Mook, juga telah menyampaikan pesan kepada Sekutu di Morotai agar Sultan Ternate segera dievakuasi ke pulau tersebut. Regu penyelamat Sultan pun berhasil menunaikan misi mereka, setelah terlibat baku tembak singkat dengan sejumlah tentara Jepang di pesisir Ternate. Dari Morotai, Sultan Jabir Syah segera diterbangkan ke Australia, tempat para pejabat Hindia Belanda berada.
  • 1945 - Perang Dunia II berakhir. Jepang menyerah pada Sekutu. Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sementara itu, Sultan Jabir Syah telah dipulangkan kembali ke Ternate bersama sejumlah tentara NICA Belanda. Beberapa waktu kemudian, ia ditemui oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Keduanya mengajak Sultan untuk bergabung dengan Indonesia. Sultan menjawab bahwa ia menghendaki agar bentuk negara Indonesia adalah republik federal. Hatta menimpali dengan mengatakan bahwa itu urusan belakangan, dan bentuk negara republik adalah yang paling dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat itu. Sultan setuju, dan Ternate pun menjadi bagian dari Republik Indonesia. Namun, di akhir tahun 1945, Ternate dan seluruh Maluku Utara segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda. Sehingga, penyatuan Ternate dengan Indonesia masih sebatas pernyataan belaka.
  • 1946 - Konferensi Denpasar. Pemerintah Hindia Belanda membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) untuk menyaingi Republik Indonesia. Kesultanan Ternate menjadi salah satu swapraja dalam negara tersebut. Konferensi Malino. Sultan Jabir Syah hadir sebagai salah satu pembicara dan wakil dari Maluku Utara dalam perundingan tersebut.
  • 1947 - Agresi Militer Belanda I.
  • 1948 - Agresi Militer Belanda II. Konferensi Swapraja.
  • 1949 - Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Perang kemerdekaan Indonesia berakhir. NIT menjadi salah satu negara bagian republik serikat tersebut.
  • 1950 - Pembubaran RIS. NIT dan seluruh swaprajanya (termasuk Ternate) dilebur ke dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • 1962 - Erupsi Gamalama.
  • 1966 - Era Orde Baru dimulai.
  • 1971 - Kaicil Mudaffar, putra kedua Sultan Jabir Syah terpilih sebagai anggota DPRD Maluku melalui Partai Golkar.
Masa jabatan Mudaffar Syah (1975-2015):


  • 1975 - Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah wafat. Kaicil Mudaffar naik tahta menggantikannya bergelar Sultan Mudaffar Syah.
  • 1977 - Sultan Mudaffar Syah terpilih sebagai anggota DPR RI.
  • 1980 - Erupsi Gamalama.
  • 1981 - Atas izin Sultan, Kedaton Sultan Ternate dijadikan museum oleh pemerintah Indonesia. Sultan dan sejumlah keluarganya tetap mendiami istana tersebut.
  • 1986 - Pelantikan resmi Mudaffar Syah sebagai Sultan Ternate ke-48.
  • 1988 - Erupsi Gamalama.
  • 1991 - Erupsi Gamalama.
  • 1993 - Erupsi Gamalama.
  • 1998 - Era Reformasi dimulai.
  • 1999 - Kerusuhan Ternate. Konflik etnis pecah di Pulau Ternate yang menewaskan sekitar 100 korban jiwa. Sultan Ternate bertindak dengan membentuk sebuah pasukan khusus, 'Pasukan Kuning', yang ditugaskan untuk membantu polisi dan tentara dalam meredakan konflik etnis tersebut. Namun, pasukan khusus ini mulai bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap tiap orang yang mengganggu mereka. Ini menimbulkan reaksi keras dari penduduk Muslim di Ternate Selatan, yang kemudian membentuk 'Pasukan Putih' untuk menandingi mereka. Konfrontasi bersenjata pun tak terelakkan.
  • 2000 - Kerusuhan Halmahera. Konflik agama yang berawal di Maluku Tengah merembet hingga ke Halmahera di Maluku Utara. Kerusuhan terjadi di Galela dan Tobelo yang menewaskan sekitar 800 korban jiwa.
  • 2002 - Festival Legu Gam (Pesta Rakyat Maluku Utara setiap Maret-April) dihidupkan kembali setelah sempat vakum sejak tahun 1950.
  • 2003 - Erupsi Gamalama.
  • 2004 - Sultan Mudaffar Syah terpilih menjadi anggota DPD RI.
  • 2011 - Erupsi Gamalama.
  • 2013 - Sultan Mudaffar Syah meluncurkan tabungan dinar dan dirham kepada masyarakat kota Ternate dan seluruh Maluku Utara. Ini merupakan salah satu upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sekaligus sebagai cita-cita untuk menjadikan dinar dan dirham sebagai mata uang yang berlaku di Indonesia sesuai syariat Islam. Dinar dan dirham Ternate ini dicetak langsung lewat Percetakan Dinar Islam Dunia dan telah dijamin oleh World Islamic Mint.
  • 2014 - Erupsi Gamalama.
  • 2015 - Sultan Mudaffar Syah wafat. Tahta Ternate tak segera diisi setelah diketahui bahwa pangeran yang telah dijadikan putra mahkota oleh sang Sultan, bukan merupakan putra kandungnya. Karena hal ini, permaisuri Ternate ditahan atas tuduhan pemalsuan akta kelahiran. Peristiwa ini menimbulkan konflik internal di kalangan istana Kesultanan Ternate.
Masa jabatan Syarifuddin Syah (sejak 2016):


  • 2016 - Syarifuddin Syah dinobatkan sebagai Sultan Ternate, mengisi jabatan yang telah kosong selama setahun pasca wafatnya Sultan Mudaffar Syah. Suasana istana Ternate pun berangsur-angsur aman dan pulih kembali. Erupsi Gamalama.
  • 2017 - Sebuah studi dari Badan Pusat Statistik Indonesia menyatakan bahwa Maluku Utara menjadi provinsi paling bahagia di Indonesia pada tahun ini.
---

Sumber sejarah:

- Digital Atlas of Indonesian History (indonesianhistory.info)
- Jejak Nusantara: Hikayat Moloku Kie Raha
- Kepulauan Rempah-rempah (Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950)
- Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810
- Ternate, The Residency and Its Sultanate (Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate)
- The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period
- The Royal Ark
- Wikipedia